Jangan pernah meremehkan kekuatan olahraga. Dunia yang satu ini memiliki kekuatan maha dahsyat. Ia bisa menceraiberaikan, mengubah kawan jadi lawan. Ia bisa juga bergerak ke arah berlawanan. Mengikatsatukan serba perbedaan.
Sepak bola menjadi contoh paling nyata untuk dua hal ini. Berbeda klub pujaan tidak hanya memantik olok-olokkan, bisa saja meluas menjadi fanatisme yang menundukkan segala pertimbangan termasuk akal sehat. Kadang kita sulit membayangkan orang bisa sampai mengorbankan banyak hal mulai dari waktu, tenaga hingga nyawa demi dan atas nama sepak bola.
Di sisi berlawanan, sepak bola mengikatsatukan berbagai unsur dan identitas. Serba perbedaan melebur, batas-batas tak berbekas, semua menyatu dalam euforia, histeria, melankolia hingga duka lara. Saat tim nasional Indonesia tampil, seluruh penghuni bumi pertiwi satu suara dan kompak mendukung dalam nada yang sama.
Di stadion, orang-orang yang dalam keseharian harus berjarak karena alasan profesi dan gengsi, bersatu. Di sana yang kaya dan miskin berkumpul, politisi dan rakyat biasa bersatu, wali kota terpandang dengan senang hati duduk sebelah menyebelah dengan remaja-remaja labil. Semua tanpa komando, tanpa ajakan, apalagi perintah, serentak memekikkan yel-yel dan larut dalam berbagai ekpresi spontan.
Bisa jadi tidak akan lebih dari masyarakat Papua yang mengenalnya seandainya Boaz Solossaa tidak lahir dengan bakat sepak bola yang luar biasa. Begitu juga tidak akan banyak yang mengenal Yabes Roni Malaefani bila ia tidak tampil camerlang bersama timnas U-19 selain sekelompok orang nun di salah satu pelosok di Nusa Tenggara Timur.
Saat keduanya mengenakan seragam timnas dan memberikan andil dalam permainan, perlahan-lahan perhatian masyarakat Indonesia tersedot. Kemudian dari rasa penasaran dan ingin tahu itu, berubah jadi pengakuan, lantas mewujud untaian-untaian harapan dan dukungan. Saat pagelaran Piala AFF 2016 lalu tidak hanya rekan-rekan setim, seluruh masyarakat Indonesia dengan berbagai cara memberikan semangat kepada Boaz dan dengan multicara pula menggantungkan harapan kepada sosok hitam dan keriting itu. Saat Boaz mulai kehilangan gairah dan tenaganya semakin berkurang, sendi-sendi di tubuh para penonton serasa ikut melemah.
Begitu juga olahraga memberikan kehidupan. Beragam ganjaran yang diperoleh dari dunia tersebut. Banyak atlet kemudian tidak hanya mencukupkan kebutuhan dan impian pribadi, juga turut menghidupkan keluarganya dan membantu banyak orang. Banyak cerita bisa jadi contoh bagaimana olahraga mampu mengobah seseorang dari tidak punya apa-apan menjadi memiliki apa-apa. Dari semula sederhana dan miskin papa menjadi kaya raya.
Olahraga pula yang membuat Aprilia Manganang, pevoli putri tomboi mampu menghadirkan rumah pribadi bagi orang tuanya di Manado, Sulawesi Utara. Sebelumnya Aprilia merasakan betapa getir dan pahitnya masa kecilnya sebagai penjual makanan, dan betapa susahnya hidup keluarganya yang mendapatkan penerangan dengan mengandalkan belas kasihan tetangga.
Olahraga itu yang membuat Wayne Rooney berubah dan mengubah masa lalunya yang keras dan susah di suburban Liverpool bernama Croxteth menjadi sarat kemewahan. Karena profesi yang sama pula Luis Suarez bisa mendapatkan apa saja hari ini. Ia bisa membeli beribu-ribu pasang sepatu, hal mana yang sangat mahal dan tak terjangkau saat ia berusia 5 tahun di Salto, Uruguay. Berkat kepiawaian mencetak gol, trisula Barcelona bersama Neymar dan Lionel Messi itu bisa melengkapi diri dengan apa saja, tidak seperti masa kecilnya yang papa.
Olahraga itu pula yang mencetak sejarah, bahkan mengubah sejarah sebuah bangsa. Banyak contoh bagaimana olahraga mampu menjadi alat perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Dengan olahraga pula sebuah bangsa yang kalah secara ekonomi dan ketiadaan pengaruh politis, bisa bergaul dan balik “menjajah” para raksasa.
Sulit mendapatkan cara yang pas untuk mengggambarkan cara negara seperti Jamaika bisa membusungkan dada dan berjalan di depan Amerika Serikat kalau bukan karena atletik. Begitu juga dalam arti sempit Indonesia di hadapan Belanda melalui bulu tangkis. Bila dahulu Indonesia tak berdaya selama 350 tahun lamanya, kini di mata Indonesia kekuatan bulu tangkis Belanda bak kekuatan militer Taiwan di mata Tiongkok.