Sepak terjang Indonesia di kejuaraan beregu campuran, Piala Sudirman tidak terlalu mentereng. Sejak pertama kali digelar tahun 1989, Merah Putih baru sekali berkibar. Itu pun di edisi perdana saat Indonesia menjadi tuan rumah. Di partai final yang dihelat di Gelora Bung Karno, 29 Mei tahun tersebut, Indonesia unggul tipis, 3-2 atas Korea Selatan.
Selebihnya pencapaian terbaik Indonesia adalah menjadi finalis sebanyak enam kali. Saat terakhir menginjak partai puncak terjadi pada 2007 saat Glasgow, Skotlandia menjadi tuan rumah. Di final Indonesia takluk 0-3 dari China.
Meski baru sekali juara, nasib Indonesia di kejuaraan yang mengambil nama bapak bulu tangkis Indonesia, Dick Sudirman ini, masih lebih baik dari negara-negara yang memiliki tradisi bulu tangkis yang cukup kuat seperti Denmark, Jepang, dan Malaysia. Setidaknya Indonesia menjadi satu dari tiga negara yang mampu berjaya di turnamen dua tahunan di setiap tahun ganjil ini, untuk membedakan dari turnamen beregu Piala Thomas dan Piala Uber pada tahun genap.
Hanya tiga negara yang berhasil menjadi juara Piala Sudirman. Selain Indonesia adalah Korea Selatan dan China. Korea Selatan tiga kali jadi juara. China? Jangan ditanya lagi, selain empat gelar itu, selebihnya menjadi milik Negeri Tirai Bambu. Konsistensi menjaga kekuatan merata hampir di semua lini menjadi kunci kedigdayaan China menjadi yang terbaik sebanyak 10 kali, termasuk di enam edisi terakhir.
Perhelatan Piala Sudirman tahun ini datang lagi. Carrara Sport and Leisure Centre, Gold Coast, Australia, akan menjadi pertarungan memperebutkan gelar sejak 21-28 Mei mendatang. Setiap negara datang dengan optimisme, target dan harapan tersendiri.
Tidak terkecuali perjuangan mengatasi tantangan. Seperti China yang tak ingin kedigdayaan mereka dihempas. Namun bukan pekerjaan mudah mengingat sejak Olimpiade Rio 2016 lalu sinyal kemunduran bulu tangkis setempat, yang bisa dibaca juga sebagai tingkat persaingan yang semakin merata, semakin kuat.
Di beberapa nomor yang sebelumnya nyaris tak tersentuh negara lain kini sudah lepas dari genggaman. Tunggal putri, ganda putri dan tunggal putra misalnya. Mengacu pada rangking dunia belakangan ini, penguasa di nomor-nomor ini bukan lagi China, bahkan tidak untuk beberapa posisi teratas.
Begitu juga Indonesia tentu berjuang untuk mengulangi pencapaian terbaik 28 tahun silam. Nyaris tiga dekade Indonesia merindu dengan hanya menjadi semi finalis pada edisi sebelumnya di Dongguan, China saat dibekuk sang juara 1-3.
Sulit menebak peta kekuatan saat ini. Turnamen beregu campuran yang baru pertama dihelat, Asia Mixed Team Championship di Ho Chi minh, Vietnam, 14-19 Februari lalu sejatinya menjadi ajang pemanasan menuju Piala Sudirman. Namun mayoritas dari 13 negara peserta tidak menurunkan pemain utama, termasuk Indonesia yang lebih memilih mengirim pemain lapis kedua.
China tidak benar-benar menghapus para pemain top dari daftar yang dikirim ke Vietnam. Beberapa pemain senior tetap disertakan untuk mendampingi para pemain muda. Namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan hingga mendatangkan sinisme bahwa para pemain muda masih belum bisa lepas dari bayang-bayang pemain senior. Jepang yang menang susah payah dari Indonesia di semi final kemudian keluar sebagai juara setelah menang meyakinkan, 3-0, atas Korea Selatan.
Sulit memang memetakan kekuatan Piala Sudirman nanti setelah Asia Mixed Team Championship gagal menjadi panggung pembukaan yang cukup meyakinkan untuk melihat tingkat persaingan di tingkat Asia.