Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NTT, Antara Tolak Tambang dan Energi Baru dan Terbarukan yang Terabaikan

14 November 2016   00:00 Diperbarui: 14 November 2016   00:46 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eksavator milik PT Aditya Bumi Pertambangan menggusur tanah untuk persiapan penambangan di Lingko Roga milik warga Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Senin (15/9/2014). Lokasi yang digusur ini tidak masuk dalam Peta IUP OP Nomor HK/81/2009./gambar dan keterangan gambar poskupang

Sebagai salah satu provinsi yang kaya bahan tambang, sikap mayoritas penduduk NTT adalah menolak. Kecuali bahan tambang Golongan C (seperti batu dan pasir), hampir tak ada cerita positif tentang pertambangan yang diterima dengan ramah baik sejak tahap ekplorasi hingga ekploitasi. Hampir semua kisah berakhir dengan penolakan secara khusus oleh masyarakat umumnya dan kelompok arus utama seperti dari kalangan gereja.

Aktivitas pertambangan di NTT sejatinya sudah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun lalu, bahkan sudah tercium sejak zaman penjajahan Belanda, namun suara penolakan baru muncul secara jelas ke permukaan dalam beberapa dekade terakhir.

Districh Stevan dalam bukunya “Flores In The 19th Century: Aspect if Dutch of Colonialism On A Non-Profitable Island (1983)” menguraikan tentang sejarah pertambangan di Flores. Belanda melalui Serikat Dagang Hindia Belanda yang dikenaldengan VOC mulai melirik pertambangan di Flores dan Lembata setelah membaca laporan seorang pedang Belanda bernama JP Freijs (1854-1855). Dari hasil kunjungannya di Manggarai, Flores Barat, Freijs melaporkan bahwa daerah tersebut menyimpan kekayaan tambang seperti emas dan timah.

Bahkan dalam nada hiperbolis Ia mengaku bahwa ada sebuah sungai yang mengalirkan besi, alih-alih air, yang disebut “sungai besi” (ijzer river) yang kemudian sungai tersebut dinamai “Wae Pesi” oleh warga Manggarai. Sayang Belanda gagal mendapatkan hasil nyata dari laporan tersebut meski telah mengirim tim khusus, Tim Ekspedisi Timah, yang melakukan ekplorasi melalui sebuah operasi militer pada 1997-1891. Rupanya laporan Freijs lebih didasarkan pada hasil interpretasi terhadap nama “Wae Pesi” atau Sungai Besi itu. Upaya pencarian gagal total dan banyak jatuh korban dari kalangan masyarakat setempat.

Namun laporan Freijs ternyata bukan isapan jempol belaka. Seabad kemudian, baru terkuak kebenaran tersebut, setelah didahului oleh aneka ekpedisi penelitian baik dari dalam maupun mancanegara. Penelitian Jo Casillo pada era 1980-an menemukan potensi sejumlah mineral seperti emas, besi, mangan dan batu barit di Ngada dan Manggarai.

Sejumlah perusahan tambang seperti PT. Aneka Tambang, PT, Nusa Lontar Mining, dan PT. Flores Indah Mining mulai beraksi sejak 1980. Sejak itu NTT mulai menjadi magnet bagi aktivitas pertambangan hingga kini.

Entah mengapa suara penolakan baru muncul ke permukaan dalam beberapa dekade terakhir. Yang pasti penolakan tersebut bukan tanpa dasar. Beberapa alasan bisa dikemukakan. Pertama,dampak pertambangan terhadap lingkungan. Bukan rahasia lagi di beberapa daerah di Indonesia, pertambangan menjadi mimpi buruk bagi masyarakat, termasuk dampak ekologis yang luar biasa. Bayangan kelam tentang ekses tambang emas oleh Freeport di Papua, Newmont di Nusa Tenggara Barat, tembaga di Sulawesi Selatan, penambangan timah di Bangka Belitung, penambangan batubara di Kalimantan dan beberapa daerah lain di nusantara telah menjadi kenangan bersama seluruh masyarakat Indonesia.

Tak hanya kisah dari daerah lain. Dampak ekologis pertambangan yang sudah lebih dahulu dirasakan di sejumlah wilayah di NTT semakin mempertegas sikap penolakan tersebut. Salah satu kisah pilu terjadi di pertambangan mangan di Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai Barat. Demi ribuan ton mangan yang telah diangkut hingga ke luar negeri, masyarakat setempat harus kehilangan kebun, sumber mata air, dan menyisahkan ligkungan yang porak poranda.

Tak heran bila masyarakat di sejumlah daerah di Pulau Timor seperti di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menolak tegas penambangan mangan di daerah tersebut. Meski kualitas mangan, yang digunakan dalam industri baja, di NTT disebut-sebut masuk kategori terbaik di dunia, namun pertimbangan dampak ekologis membuat masyarakat bergeming.

Meracuni air bersih hingga kehilangan sumber air bersih, polusi udara, merusak hutan dan lahan pertani­an, hingga mencaplok kawasan ulayat dan hutan lindung, membuat masyarakat di sejumlah daerah mati-matian mempertahankan diri hingga mempertaruhkan nyawa seperi terjadi pada masyarakat Kampung Tureng Bawer, Desa Legur Lai, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur pada Agustus 2014 lalu.

"Kami tolak tambang hingga kami mati. Kami akan melakukan pagar jalan dengan kayu, hingga mati dan dikuburkan di jalan tersebut," tegas Bernadus Antus, mewakili masyarat setempat, (sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun