Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Mengapa (Selalu) Jakarta?

16 Oktober 2015   11:57 Diperbarui: 16 Oktober 2015   11:57 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika tentang sepakbola saja kita masih terpecah, hal apa yang masih bisa menyatukan kita?

Sebelum perhelatan final Piala Presiden 2015 berbagai komentar miring, kecemasan, bahkan ketakutan mengemuka. Bahkan perasaan itu sudah mulai muncul seiring langkah maju Persib Bandung. Saat Maung Bandung mencapai babak empat besar, kecemasan pendahuluan semakin menjadi-jadi.

Bahwa rencana awal venue final turnamen gagasan Mahaka ini akan mengambil tempat di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, bayangan-bayang hitam berkelebat hebat usai Persib memastikan satu tiket final. Anehnya bukan tentang seteru prapertandingan di lapangan hijau antara dua finalis (dalam hal ini Persib Bandung dan Sriwijaya FC). Melainkan itu lebih pada dendam yang telah terpelihara antara dua kelompok pendukung dari dua klub terpuji, Persib Bandung sebagi finalis dan Persija Jakarta yang hampir menjadi identik dengan Jakarta dan GBK.

Kecemasan yang semakin kental membuat pihak panitia sempat berpikir ulang sambil menyodorkan alternatif venue final. Ada yang meminta sebaiknya final jangan di Jakarta. Ada yang menyanggupi tetap di Jakarta tetapi meminta garansi. Waktu terus berjalan dan kepastian tak bisa terus diulur. Kedua finalis ingin segera  tahu di mana mereka akan bertanding karena bagaimana pun juga lokasi amat menentukan persiapan. Akhirnya diputuskan laga final pada 10 Oktober nanti tetap di GBK.

Faktum

Ikhwal keamanan dan kelancaran pertandingan final menjadi alasan utama tarik ulur locus pertandingan. Dalam hal tertentu urusan yang satu ini tidak bisa dianggap enteng. Publik tentu ingin menyaksikan jalannya pertandingan yang aman dan jauh dari gangguan tak terpuji. Masyarakat ingin melihat kedua tim berjuang secara sportif hingga melahirkan sang pemenang sejati. Di tengah mati suri sepakbola dalam negeri, pertandingan ini sedikit banyak menjadi hiburan dan pelipur lara. Amat tak elok jika penghiburan semata wayang ini ternoda.

Di sisi lain, ketakharmonisan antarsuporter yang bukan hal baru di tanah air sejauh dapat dihindari. Apalagi bukan menjadi rahasia lagi bagaimana relasi antara pendukung Persib Bandung yang dikenal dengan sebutah Bobotoh berikut ranting-rantingnya dan kelompok suporter tim ibu kota, Persija Jakarta yang menyebut diri The Jakmania. Kedua kubu dengan riwayat sakit hati dan dendam masing-masing telah membangun tembok permusuhan padahal mereka berada berdampingan. Pola hidup bersisian dan bertetangga sebagaimana adab ketimuran menguap. Keduanya kini adalah tetangga yang tak akur.

Berbagai peristiwa miris dalam sejarah pertemuan kedua tim tentu tak bisa dilupakan. Dari berbagai sumber bisa kita kumpulkan  dan beberapa di antaranya: aksi saling lempar botol dan kayu antar kedua tim saat bertemu pada putaran pertama Grup Barat Liga Dunhill di Stadion Menteng pada 16 April 1995; pelemparan batu kea rah mobil Persija saat kedua tim bertanding di Stadion Siliwangi, bandung pada 11 Februari 2001; perang batu di GBK pada 24 Juni 2001; penghadangan dan penyerangan kepada Viking di Tol Tomang, Jakarta yang menyebabkan 13 orang terluka pada 12 maret 2002; pengrusakan prasarana hotel tempat menginap para pemain Persija di Bandung pada Februari 2003; insiden di gerbang pemuda, Senayan pada 25 Maret 2010 yang menyebabkan satu orang pendukung Persija tewas di tangan Jakmania sendiri; dan tewasnya dua pendukung Persib pasca pertandingan di GBK pada Mei 2012.

Dengan tanpa bermaksud membongkar derita apalagi membangkitkan aroma permusuhan, potongan-potongan peristiwa miris itu patut diangkat sebagai kaca pengilon untuk melihat wajah kita yang muram dalam melihat sebuah pertandingan. Bola dan pertandingan sepak bola tak lagi didudukan pada tempatnya. Pertandingan sepak bola bukan lagi sarana hiburan yang sehat dan wahana asah ketrampilan, olah teknik dan pembentukan semangat sportivitas melainkan ajang adu gengsi dan pelampiasan dendam. Lapangan bola tak ubahnya arena amuk.

Kita tak perlu malu-malu dan pura-pura menyembunyikan faktum ketakharmonisan dan penyimpangan perspektif dan orientasi kita terhadap sebuah pertandingan. Karena itu langkah Mahaka untuk mempertimbangkan realitas historis untuk menentukan venue final Piala Presiden adalah tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun