Prasangka terhadap unsur-unsur primordial masih saja mengemuka dalam keseharian kita. Ruang-ruang publik sekalipun masih dikuasai oleh syak wasangka dan kecurigaan tak berdasar. Sayangnya purbasangka itu lebih karena minim pengetahuan dan pemahaman, yang bisa saja berdiri di atas apatisme dan mental block.
Pemandangan serupa terjadi juga di dunia perbankan. Aprilia Ratna Palupi, Kepala Bagian Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, dalam workshop “iB Blogger Meet Up” Kompasiana Nangkring di Yogyakarta, 25 Maret lalu membeberkan hasil Survey Persepsi BI-Markplus 2010. Hasil survey menunjukkan sebagian besar masyarakat masih belum atau tidak mau menjadi nasabah atau menggunakan produk keuangan syariah tanpa alasan yang jelas, bahkan sama sekali tidak relevan. Sebagian besar responden (lebih dari 37 persen) masih mempersepsikan bank syariah berdasarkan agama.
Di satu sisi persepsi responden tersebut tidak keliru. Secara sederhana bank syariah diartikan sebagai bank yang menjalankan aktivitasnya berdasarkan syariah. Pasal 1 ayat 2 UU No.21 tahun 2008 memberikan definisi demikin. “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya.
Secara gamblang pada pasal 1 ayat 12 mendefinisikan prinsip syariah sebagai “prinsip hukum Islam dalam kegiatan berbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.” Lembaga yang memiliki kewenangan dimaksud adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Prisip yang dipakai berlandaskan pada fondasi dan pilar yang menunjang tercapainya “falah” (sejahtera material dan spiritual) yang mencakup aspek keadilan, kemaslahatan dan keseimbangan. Fondasi yang dimaksud bertumpu pada akidah, kaidah syariah (hukum muamalah di bidang ekonomi) yang membimbing aktivitas ekonomi sesuai syariah dan akhlak yang membimbing yang mengedepankan kebaikan sebagai cara mencapai tujuan.
Mengutip Abdul Rasyid (Januari 2015), dosen Hukum Bisnis, Universitas Bina Nusantara, dalam menjalankan kegiatannya bank syariah berlandaskan pada prinsip bagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle)dan sama sekali tidak memberikan bunga (interest free). Hal terakhir ini bertolak belakang dengan bank konvensional yang tidak bisa tidak berdasarkan pada bunga (interest).
Meskipun demikian fungsi bank syariah sama seperti bank konvensional umumnya. Kedua jenis itu sama-sama berstatus lembagai keuangan intermediasi (intermediary financial institution) yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan lantas menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan.
Walau mempunyai fungsi yang sama, ada hal prinsip yang membedakan keduanya. Bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip bagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle)dan tidak memberikan bunga (interest free). Adapun bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada bunga (interest).
Dengan demikian ikhwal fungsi dan prinsip usaha bank syariah cukup jelas. Yang diupayakan adalah transaksi yang dilakukan tidak melanggar aturan syariat seperti bunga, jual beli mata uang, spekulasi dan sebagainya. Jadi letak ke-syariah-an adalah pada sistem, bukan religi.
Mengidentikan bank syariah dengan islam dan umat Islam sedikit banyak bisa dimaklumi. Antara syariah dan Islam jelas tak bisa dipisahkan. Namun di sisi lain mengganggap bahwa bank syariah hanya diperuntukan bagi kalangan tertentu patut dikoreksi. Apalagi seperti dikatakan Abdul Rasyid sampai mengaitkannya dengan ritual keagamaan atau peribadatan tertentu.
Bila kita membuka seluruh regulasi tidak ditemukan aturan entah dari Bank Indonesia atau otoritas lainnya, batasan apalagi larangan bagi kelompok tertentu untuk menjadi nasabah bank syariah. Ketika kita melangkah masuk ke dalam bank, maka terbuka lebar pelayanan dengan tanpa ditanya apa agama kita.