Suasana di dalam KRL (Gambar Kompas.com)
Long weekend tiba. Hati warga ibu kota Jakarta riang gembira, kecuali mereka yang tak mengenal kata libur panjang. Namun, bagi para pengguna jasa Commuter Line (KRL) jurusan Maja-Tanah Abang, Kamis (05/05) pagi hingga siang ini suasana libur itu benar-benar menyesakkan dada.
Bagi mereka yang bepergian di jalur tersebut, suasana benar-benar menguras emosi. Antara berbela rasa, dan amarah tak tertahankan. Berbela rasa pada penderitaan para ibu dan anak-anak yang harus berdesak-desan di dalam kereta, hingga saat turun dan naik di sepanjang jalur tersebut.
Suasana kereta sejak pukul 11.00 hingga beberapa jam selanjutnya benar-benar tak manusiawi. Penumpukan penumpang tak terhindarkan. Para penumpang yang telah lama menanti telah kehabisan kesabaran untuk tak mengisi ruang dalam kereta yang telah penuh-sesak.
Dari pengamatan saya, sejak stasiun Sudimara, tempat keberangkatan saya, hingga Stasiun Tanah Abang suasana di dalam kereta tak ubahnya jam-jam sibuk saat hari kerja. Bisa diduga, banyaknya penumpang saat itu karena terjadi penumpukan akibat keterlambatan kereta. Walau bukan hari kerja, para pengguna jasa hendak memanfaatkan moda transportasi itu untuk keperluan keluarga.
Namun, apa daya situasi saat itu benar-benar tak diharapkan. Tak heran kondisi itu mendatangkan resah dan gelisah. Bahkan tak sedikit yang mengumpat setiap kali muncul pengumuman dari pengeras suara bahwa KRL belum bisa diberangkatkan.
Belum lagi, saat tiba di Stasiun Tanah Abang, terjadi ‘perang’ massal.  Penumpang yang telah menghabiskan waktu berjam-jam dalam perjalanan memilih untuk segera mengakhiri prahara tersebut. Di sisi lain, keinginan untuk segera keluar dari gerbong penderitaan itu bertumbukkan dengan lautan manusia yang telah lama menanti hingga menyemut di setiap sudut peron. Perebutan tempat pun terjadi, baik untuk ke luar dari maupun yang akan segera memasuki gerbong kereta.
Sementara itu, kehadiran kereta dalam rentang waktu cukup lama membuat lautan penumpang tak bisa sekalian ditelan. Para penumpang yang baru saja keluar dari KRL harus berjuang dengan lautan manusia yang menjejali setiap sisi peron, terutama jalur lima dan enam. Saat itu, peron yang sempit itu sama sekali tak berarti. Terlalu kecil dan sempit untuk menampung manusia sebanyak itu.
Maka, beberapa penumpang, entah pria maupun wanita, tua-muda, dewasa juga anak-anak, memilih melompat ke jalur kereta untuk mencari jalan keluar ke peron lain. Pengalaman yang menggelikan sekaligus memprihatinkan.
Entah seberapa besar perjuang kami saat itu. Berapa banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan kala itu. Bila tak salah, saya berangkat dari Stasiun Sudimara sebelum pukul 11.30, dan baru tiba di tempat tujuan, Stasiun Jayakarta dengan mengambil jalur Tanah Abang menuju Stasiun Kampung Bandan, sekitar pukul 14:45. Bisa dihitung sendiri berapa lama yang saya habiskan di jalan. Belum lagi energi yang terbuang dan emosi yang terkuras selama itu.