Tradisi berburu paus..itulah salah satu yang membuat Lembata menjadi terkenal. Ya, sebuah pulau dalam gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur. Namun bukan tempat itu yang mau dibicarakan, tetapi novel berjudul LEMBATA yang ditulis oleh salah satu sastrawan Indonesia, F.Rahardi.
===
Semuanya bermula dari Pedro. Pedro adalah tokoh fiktif yang diangkat dalam Lembata, Sebuah Novel (selanjutnya disingkat LSN). Alkisah, sebagai seorang imam keuskupan Larantuka yang diutus untuk mendalami ilmu ekonomi pada Universitas Atmajaya-Jakarta, Pedro kemudian bersua dengan Luciola, seorang putri konglomerat Robby Tambayong. Pertemuan inilah yang menentukan kisah perjalanannya sebagai seorang imam Katolik.
Ternyata ketampanan dan kepintaran sang imam mahasiswa membuat sang putri semata wayang konglomerat berjaringan perusahaan raksasa dari Las Vegas hingga Monaco jatuh hati. Kenyataan ini dapat dibaca dalam kesan pertama Luciola ketika bertemu Pedro, “Pedro. Sekitar empat tahun kamu pulang-pergi dari Kramat Tujuh ke Kampus Semanggi…tetapi ketika melihatmu pertama kali, aku sama sekali tidak mengira bahwa kamu adalah pastor. Kamu sangat gaul…” (LSN, hal. 35) sehingga membuatnya tak kuasa berpaling kepada pria lain yang juga dengan tekun memburunya. Ketertarikan Luciola pada Romo Pedro dapat dikiaskan bak seekor kumbang mengitari sekuntum kembang penuh sari madu. Ketika bidikan tepat pada kembang kaya sari madu, sang kumbangpun enggan terbang menjauh.
Kedekatan yang sudah dibangun sejak masa-masa kuliah terus terbawa. Kedekatan ini membawa konsekuensi. Pedro yang bersikukuh pada panggilannya yang menuntut kesetiaan dan selibat mesti memberikan jawaban “cinta yang bertepuk sebelah tangan” kepada Ola. Mendapat jawaban seperti itu Luciola tidak menjadi kecut malah bara cintanya semakin membakar usahanya untuk merebut hati sang pastor. “Aku telah terus terang menyatakan cintaku, dan mengajakmu untuk menikah.
Tentu dengan resiko kamu harus meninggalkan imamatmu, juga dengan resiko Uskup akan menghentikan kuliahmu…” (LSN, hal. 36), ungkap Luciola berterus-terang kepada Pedro. Sekalipun Ola tetap mengikuti ke mana Pedro pergi bahkan sampai dipanggil pulang oleh Sang Uskup untuk mengabdi sebagai imam Diosesan di sebuah paroki terpencil di pulau Lembata, sang imam tetap bersikukuh pada panggilannya. Kenyataan ini dirasakan sendiri oleh Luciola, “Tetapi kamu menolak. Kamu tidak mau meninggalkan imamatmu hanya dengan alasan mau menikah. Kamu memang juga mengatakan bahwa setiap saat siap untuk meninggalkan imamatmu, tetapi dengan alasan yang juga sangat teologis, minimal menyangkut hal-hal yang sangat prinsipiil di sekitar liturgi dan hukum Gereja…” (LSN, hlm. 37).
Kebersamaan itu tetap terjalin hingga Pedro mendapat tugas sebagai pastor pembantu di paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba. Sebagai partner bagi sang pastor paroki, Rm Aleks, Pedro mulai melancarkan aksi protesnya terhadap Gereja Katolik. Mula-mula ia berhadapan dengan kenyataan kemiskinan yang meliliti masyarakat Aliuroba. Situasi masyarakat serba terbelakang. Di hadapan realita masyarakat, Pedro-pun tak kuasa menahan diri untuk bertanya kepada Gereja, “…aku mau tanya, apa saja yang telah dikerjakan oleh Gereja, hingga umat kita tetap misikin?” (LSN, hlm. 61).
Tampaknya peran Gereja belum mewujud dalam aksi nyata. Malahan Gereja semakin memperburuk suasana. Secara liturgis, tradisi yang dihidupi sama sekali tidak mengurangi apalagi memecahkan batu penderitaan masyarakat. Di mata Pedro, saat tuntutan menyelenggarakan ekaristi dengan menggunakan hosti yang berbahan baku gandum dan anggur berarti rakyat harus mendatangkannya dari luar daerah. Dengan demikian harga penderitaan rakyat hanya dibayar dengan kesusahan, bersusah payah mengimpor produk ini dari luar negeri dan para produsen gandum seperti Yesuit Australia-pun kebanjiran laba. Karenanya hemat Pedro, mempertahankan roti dan anggur dalam tradisi Gereja hanyalah sebentuk usaha memperkaya pihak-pihak tertentu.
“Mengapa orang miskin di sini, harus membayar petani gandum Eropa dan Amerika yang sudah sangat kaya?” (LSN, hlm. 97), demikianlah bunyi pertanyaannya. Karena itu masyarakat kecillah yang harus memikul tanggung jawab ekonomis untuk menunaikan kewajiban rohaninya yakni menjalankan ibadat/ekaristi. Saat itulah ia melancarkan aksi gilanya. Sebagai bentuk protes, ia menyelenggarakan ekaristi dengan menggunakan moke dan jagung titi. Sebuah usaha kontekstualisasi ajaran Gereja yang sungguh berlawanan dengan tradisi yang telah tertanam kuat dalam tubuh Gereja. “Mengapa misa tidak boleh memakai jagung titi? Bukankah hosti yang terbuat dari gandum, yang kemudian diterimakan kepada umat sebagai tubuh Kristus, sebenarnya hanyalah symbol. Kalau hanya sekadar symbol, seharusnya bisa diganti-ganti. Bisa jagung titi, bisa keripik singkong, keripik talas, keripik keladi….mengapa harus gandum yang diimpor dari Eropa dan Amerika Serikat?” (LSN, hlm. 96-97).
Berbagai reaksi pro, contra maupun yang memilih jalan tengah dengan bersikap tidak memberikan reaksi setuju atau menolak, berdatangan dari berbagai penjuru. Reaksi-reaksi yang muncul tidak menyurutkan aksi sang imam yang merasa telah memiliki keyakinan untuk tetap membongkar kekukuhan tradisi “roti-anggur” ini dan menegakkan tradisi baru, “jagung titi-moke”. Pedro tidak hanya berjuang bersama rakyat dengan menolak “roti-anggur” yang dipraktikkan tetapi mengambil keputusan untuk meletakkan jabatan imam agar mampu mengusahakan sendiri roti dan anggur bagi rakyat.
Pada titik ini konflik hidupnya bercabang, tidak hanya dengan otoritas Gereja yang membawahinya, tetapi juga dengan sebagian keluarga yang merasa terpukul dengan opsi yang diambilnya, serta dengan nuraninya yang memilih untuk mundur sebagai Imam tidak karena “kejatuhan” tetapi lebih karena pilihan bebasnya sebagai seorang manusia. Pedro merangkum setiap pertanyaan atas peristiwa pengunduran dirinya dalam jawaban yang singkat kepada sang ibu, “Ibu, aku mundur sebagai pastor, supaya bisa membantu umat yang lebih banyak lagi. Kalau saya hanya menjadi imam Katolik, yang bisa saya layani hanya umat Katolik. Sekarang saya awam, tetapi masih tetap rasul…” (LSN, hlm. 126).