[caption caption="Gading memberikan instruksi pada Sony (INDOSPORT.com)"][/caption]Bagi siapa saja, apalagi seorang atlet, cedera sungguh tak mengenakkan. Lebih lagi, bila cedera itu kerap datang dan pergi. Hingga akhirnya benar-benar memaksanya untuk menepi dan kembali memulai dari titik nol.
Pebulutangkis tunggal putra Sony Dwi Kuncoro jelas mengalami hal itu. Bahkan kenangan pahit itu masih membekas hingga kini, ketika dunia kembali memalingkan perhatian kepadanya.
Berbicara usai meraih podium tertinggi tunggal putra Singapura Open 2016, Sony seakan ingin melupakan kekelaman itu.
“Nggak usah ngomongin soal cedera, yang penting saya juara di sini,”ungkap Sony dikutip dari Juara.Net.
Jelas, Sony ingin menguburkan masa silam yang kelam itu dalam-dalam. Sungguh tak mengenakkan untuk menghadirkannya lagi walau hanya sekelebat saja.
Tetapi, kisah kelam itu tak bisa ditampik, apalagi disaput hingga tak berjejak. Justru masa lalu itulah bagian dari sejarah yang mengandung seribu satu kisah bermakna. Pada salah satu bagian sejarah itu tertera nama Gading Safitri.
Nama wanita ini tak akan dikenal luas bila Sony tak jadi juara di Singapura. Paling-paling ia tetap dikenal sebagai seorang istri yang telah memberi Sony dua orang anak. Pun ditambah atribut sebagai magister kenotariatan dari salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya.
Di jagad tepok bulu, nama wanita yang akan berusia 33 tahun pada 1 Juli ini akan seperti Sony yang tak diperhitungkan setelah cedera memaksanya ditendang dari Pelatnas PBSI pada pertengahan 2014 lalu.
Setelah Singapura Terbuka itu selembar demi selembar kisah Gading mulai tergerai. Tak hanya sebagai wanita di dalam rumah tangga Sony semata. Juga sebagai sosok penting yang menyalakan api semangat dan kesetiaan Sony sebagai pebulutangkis.
Dalam kesendirian setelah ditinggal Negara dengan segala fasilitas, sponsor dan jaminan, Sony hanya memiliki Gading. Bersama wanita yang dipacari sejak 2002 dan dinikahi tujuh tahun kemudian, Sony kembali mengumpulkan semangat dan kepercayaan diri sebagai bintang yang tiba-tiba meredup.
Hilang semua kenangan sebagai peraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004. Tak ada lagi bekas sebagai bintang masa depan, seperti Taufik Hidayat. Pupus sudah kesempatan untuk naik lebih tinggi dari urutan tiga dunia yang pernah ditempati. Semuanya hilang. Berganti sesal, dan kecewa.