Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Film Nokas: Upaya Melihat Timur dari Kacamata (Orang) Timur

28 September 2016   10:12 Diperbarui: 28 September 2016   22:11 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Istimewa/Youngsters.id

Kemerdekaan Indonesia yang telah memasuki dekade kedelapan, hemat saya, belum sepenuhnya membebaskan kita dari prasangka dikotomis Timur dan Barat atau Jawa dan luar Jawa.

Meminjam paradigma postkolonial Edward Said, Jawa masih dilihat sebagai sentrum atau oksidental, sementara luar Jawa sebagai periferi atau oriental. Jawa diperlakukan sebagai pusat segala-galanya sehingga identik dengan kemajuan dan kemakmuran. Sementara Timur adalah wilayah abangan yang dilumuri atribut miring dan miris: keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, dan sebagainya.

Dikotomi tersebut jauh lebih terasa dan karena itu sangat menyayat hati, ketika menyertakan anggapan apriori bernada primordial. Jawa berarti unggul, utama dan nomor satu. Tendensi itu tak hanya soal kebijakan pembangunan, lebih dari itu, soal sikap dan persepsi.

Soal sikap dan cara bersikap adalah persoalan subjektif sehingga tidak bisa dijadikan alasan baik untuk membenarkan atau menegasikan prasangka itu. Urusan hati dan isi kepala tak ada yang bisa mengukur, sehingga bisa mengkonklusinya secara pasti. Namun perlu ditegaskan bila masih ada persepsi seperti itu, dengan tanpa perlu banyak alasan, selayaknya dibongkar, dan didekonstruksi untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, dan membentuk sikap yang benar, sebenar pernyataan bahwa tak ada yang lebih istimewa dari antara setiap makhluk yang berdiam di bawah lindungan Ibu Pertiwi. Di mana kita berada, jati diri kita tetap utuh-padu, dan tak pernah bisa direduksi dan digradasi oleh apapun dan oleh siapapun. 

Selain itu mengawetkan cara pandang dan cara bersikap bipolar seperti itu jelas-jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan, juga amat membahayakan ikatan ke'ika'an. Kemerdekaan sejak 71 tahun silam adalah antitesis kolonialisme yang sejatinya kita rawat dan pelihara bersama.

Namun demikian kita masih harus melewati jalan pembebasan yang panjang. Pada tataran tertentu kenyataan tersebut masih terpelihara. Derap pembangunan Jawa jauh meninggalkan wilayah-wilayah lain di Nusantara. 'Kue' pembangunan lebih banyak beredar di Pulau Jawa, ketimbang wilayah-wilayah di luarnya yang sekadar mendapat 'remah-remah' dari meja tuan yang berkuasa. Ekses yang dihadapi pun mengular panjang.

Dengan tanpa bermaksud memperruncing pembedaan itu, kehadiran Nokas, film dokumenter karya sineas muda Nusa Tenggara Timur (NTT) Manuel Alberto Maia, memperlihatkan salah satu sisi buram itu. Berbeda dengan film-film lainnya bertema NTT yang diangkat dan digarap oleh sineas 'luar', Nokas adalah produk yang lahir dari pengamatan dan ada bersama secara langsung oleh “orang dalam,” orang NTT sendiri.

Selama tiga tahun proses penggarapan, dengan bantuan alumni Eagle Awards yang cukup piawai di jagad film dokumenter, Shalahuddin Siregar, Abe (sapaan akrabnya) menghadirkan kisah hidup dan cerita kasih seorang pemuda bernama Nokas (kemudian dipakai sebagai judul film).

Cerita bermula dari pertemuan Abe dan Nokas pada April 2013. Latar belakangnya sebagai petani muda yang lanjang menggelitik Abe. Nokas adalah anomali kaum muda NTT. Tak banyak memang anak muda NTT umumnya dan Kupang khususnya yang mau berkarib dengan dunia pertanian. Alih-alih memilih bertani, menurut Abe “Kebanyakan anak muda Kupang lebih memilih menjadi perantau ataupun nongkrong di tempat biliard yang bersebaran hampir di setiap gang.”

Bertani di Kupang yang beriklim panas dan bertopografi karang-tandus jelas bukan perkara mudah. Namun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk berkata tidak pada pertanian. Ironisnya tak sedikit wilayah lain di NTT dianugerahi alam yang subur dengan potensi pertanian yang melimpah, namun kurang terurus.

NTT tidak hanya terbengkalai dari segi pertanian. Sektor-sektor lain seperti pariwisata pun setali tiga uang. Tak heran bila kemudian hadir orang-orang dari luar NTT dengan dan atas berbagai cara menjamah dan menggarap potensi-potensi itu. Protes dan penolakan terhadap penguasaan aset dan sumber daya akhirnya mengemuka oleh sebagian kalangan orang NTT sendiri. Namun suara protes itu tampak lebih sebagai pukulan balik yang mendarat telak di ruang kesadaran setiap orang NTT, terutama kaum muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun