Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

All England 2016, Kaca Besar Bulu Tangkis Indonesia

15 Maret 2016   18:14 Diperbarui: 18 Maret 2016   12:45 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Praveen/Debby juara All England 2016 (Badmintonindonesia.org)"][/caption]All England 2016 memang sudah usai, Minggu (13/03/2016) lalu. Namun bayangan tentang ajang super series premier pertama tahun ini belum juga lepas dari ingatan publik, terutama bangsa Indonesia. Betapa tidak, di Barclaycard Arena, Birmingham itu Merah Putih kembali berkibar setelah absen di tahun sebelumnya.

Bukan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, Greysia Polii/Nitya K.Maheswari dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang naik podium utama, melainkan Praveen Jordan/Debby Susanto. Hendra/Ahsan, Greysia/Nitya dan Owi/Butet-sapaan akrab Tontowi/Liliyana gagal mewujudkan target juara yang dibebankan kepada mereka.

Kesuksesan Praveen/Debby di satu sisi dan kegagalan Hendra/Ahsan, Greysia/Nitya serta Owi/Butet memenuhi target, serta terpuruknya sektor tunggal putra dan tunggal putri  di sisi lain menjadi catatan tersendiri bagi dunia bulu tangkis tanah air.

Ajang tertua di dunia sekaligus salah satu yang paling bergengsi itu menjadi kaca pengilon untuk melihat wajah bulu tangkis kita sesungguhya. Kehadiran para pemain bintang dari berbagai penjuru dunia dan atmosfer luar biasa  di ajang tersebut bisa menjadi tolak ukur melihat kualitas para pemain kita.

Pada titik ini, apakah dunia perbulutangkisan kita mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah Indonesia masih memelihara tradisi sebagai bangsa yang besar dan dibesarkan oleh olahraga tepok bulu itu?

Dengan jujur dan berbesar hati harus kita akui bahwa prestasi bulu tangkis Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan sudah sejak lama. Bila All England dengan dasar dan pertimbangan di atas dijadikan salah satu patokan, maka kemunduran itu terlihat jelas.

Di sektor tunggal putra  Indonesia belum lagi memiliki juara All England setelah masa jaya Heryanto Arbi pada tahun 1994. Susi Susanti menjadi tunggal putri terakhir yang naik podium juara pada tahun yang sama.

Setelah kesuksesan Sigit Budiarto/Chandra Wijaya pada tahun 2003, Indonesia harus menanti sepuluh tahun untuk membawa pulang gelar melalui Ahsan/Hendra. Dan setelah itu, hingga kini, belum ada lagi juara.

Di sektor ganda putri jauh lebih miris. Sejak masa Verawati/Imelda Wiguna pada tahun 1979, atau 37 tahun lalu, Indonesia masih menanti munculnya juara baru. Harapan itu sempat disematkan pada Greysia/Nitya, namun di tahun ini, saat performa mereka sedang meningkat, malah keok di babak pertama.

Sektor ganda campuran sedikit lebih baik. Sempat menanti selama 33 tahun sejak Christian Hadinata/Imelda Wiguna, Indonesia memiliki Owi/Butet yang langsung mengukir hattrik sejak 2012 hingga 2014. Sempat gagal mempertahankan gelar, Owi/Butet berniat kembali merebut gelar tersebut di tahun ini. Namun harapan itu justru berbuah manis di tangan Praveen/Debby.

Tentu tidak adil dan jauh dari lengkap menilai maju-mundurnya bulu tangkis sebuah negara hanya dari sebuah turnamen saja, meski level prestisius sekalipun. Kekalahan Zhan Nan/Zhao Yunlei di babak semifinal dari Praveen/Debby misalnya tak otomatis berakhir dengan konklusi bahwa di cabang tersebut Tiongkok mengalami kemunduran. Di rangking lima besar dunia, Tiongkok masih menjadi raja dengan tiga wakilnya Liu Cheng/Bao Yixin (rangking 3) dan Xu Chen/Ma Jin (rangking lima).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun