Negara yang disebutkan terakhir yang memuncaki ranking klasemen di ASEAN punya kecepatan internet di angka 85,15 Mbps sekaligus menempati posisi ke-16 di dunia.
Lambatnya koneksi internet masih menjadi persoalan. Situasi ini jelas kurang ideal untuk mendukung Kurikulum Merdeka.
Untuk mengakses Plaform Merdeka sungguh dibutuhkan koneksi yang cepat. Berbagai aktivitas digital seperti mengunduh, memutar, mengunggah, dan berbagi materi entah berupa teks, gambar, apalagi video, dengan kapasitas tertentu sungguh mensyaratkan keandalan jaringan.
Di negeri ini, tidak hanya masih banyak yang belum terkoneksi internet, yang sudah terkoneksi pun harus berpelukan dengan kenyataan miris: kecepatan jaringan belum memadai. Bahkan status terkoneksi pun bisa saja hanya di atas kertas. Praksis di lapangan sungguh jauh panggang dari api.
Banyak cerita berserliweran di media massa dan media sosial terkait perjuangan masyarakat untuk mendapatkan jaringan internet. Masih banyak yang harus berjuang ekstra mencapai tempat yang tinggi atau bahkan harus memanjat pohon agar bisa mendapat sambungan internet.
"Untuk mencari SIGNAL mereka jalan kaki ke perbukitan hampir 2 km dari permukiman," unggahan di akun Facebook Renni Rosari Sinaga, Sabtu (1/8/2020).
"Mereka berjuang. Mereka memanjat pohon dengan antrian. Mereka menulis di rerumputan. Mereka melawan dingin dan cuaca yang kadang kurang bersahabat dengan situasi yang mereka hadapi," tutup Renni.
Pemandangan yang menyayat hati ini bisa dipastikan masih terjadi hingga hari ini. Salah satunya di daerah dari mana leluhur saya berasal, di salah satu pelosok di Pulau Flores, NTT. Di tempat Anda?