Namun, data tersebut tetap tidak menafikan sejumlah kenyataan.
Pertama, sekalipun pengguna internet di Tanah Air terus meningkat, sekitar 5 persen atau setara 10 juta antara tahun 2022 dan 2023, masih ada lebih dari 63 juta orang atau tak kurang dari 23 persen populasi yang belum merasakan kemajutan teknologi itu.
Di balik kabar gembira bagi penerapan Kurikulum Merdeka, masih ada dari antara 23 persen itu yang harus berjuang untuk mengalami seperti mayoritas yang lain.
Angka tersebut memang kecil bila dibanding keseluruhan. Namun, di baliknya ada nasib puluhan juta manusia yang dipertaruhkan. Termasuk juga para guru dan murid yang masih terisolasi di pelosok negeri.
Jelas, ini sebuah tantangan yang harus diretas bila Kurikulum Merdeka dengan Platform Merdeka Mengajar sebagai salah satu senjata sungguh dirasakan oleh seluruh pihak di republik ini.
Kedua, dari kumpulan besar yang sudah terkoneksi itu tidak dengan sendirinya bebas persoalan. Hal dimaksud antara lain soal keandalan koneksi internet.
Apakah kecepatan internet di Indonesia sudah cukup memadai? Rata-rata kecepatan koneksi internet seluler (mobile internet) adalah 17,27 Mbps. Koneksi internet tetap (fixed broadband) rerata 24,32 Mbps.
Dari laporan Ookla, perusahaan pembuat Sppedtest untuk mengukur kecepatan internet, ada peningkatan kecepatan koneksi internet seluler sebesar 1,45 Mbps (sekitar 9,2 persen) dan 4,19 Mbps (sekitar 20,8 persen) untuk koneksi internet tetap dalam satu tahun terakhir di Indonesia.
Dibanding negara-negara lain, kecepatan internet itu ternyata tidaklah istimewa. Laporan terbaru Ookla bertajuk "Speedtest Global Index" edisi Februari 2023, Indonesia justru masih berada di posisi juru kunci di kawasan Asia Tenggara.
Kecepatan internet di Tanah Air tidak lebih cepat dari Kamboja (21,09 Mbps), Filipina (24,58 Mbps), Myanmar (26,70 Mbps), dan Laos (30,61 Mbps). Â Sebaiknya jangan dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, apalagi Brunei Darussalam.