Maroko harus menelan pil pahit. Perjalanan penuh keajaiban dan kejutan di Piala Dunia 2022 harus berakhir. Kedigdayaan Singa Atlas berakhir di hadapan Prancis, sang juara bertahan.
Al Bayt Stadium, Kamis (15/12/2022) dini hari WIB menjadi panggung terakhir Achraf Hakimi dan kawan-kawan di Qatar. Kekalahan dua gol tanpa balas membuyarkan mimpi besar rakyat Maroko khususnya dan Afrika umumnya untuk mengukir sejarah besar di panggung sepak bola dunia. Menjadi negara Afrika pertama yang tidak hanya lolos ke semifinal, tetapi lebih dari itu.
Ternyata harapan itu bertepuk sebelah tangan. Mimpi saja tidak cukup. Begitu juga tekad dan semangat membara. Ada faktor-faktor lain yang pada akhirnya membuat kemenangan menjadi milik Prancis.
Pertama, gol cepat Prancis.
Maroko memang mendominasi pertandingan dengan "ball possession" mencapai 61 persen berbanding 39 persen milik tim Ayam Jantan. Namun, dari beberapa peluang yang dimiliki tak satu pun yang mampu berbuah gol.
Jumlah tembakan tepat sasaran ke gawang lawan pun berimbang, masing-masing tiga "shots on target." Prancis melepaskan total 14 percobaan, satu tembakan lebih banyak dari Maroko. Di tim Prancis, dua dari antaranya berujung gol.
Pukulan awal yang mengejutkan Maroko terjadi di menit kelima. Serangan dari sisi kanan yang dibangun Antoine Griezmann, berlanjut denan tendangan Kylian Mbappe namun membentur pemain Maroko. Bola kemudian mengarah ke Theo Hernandez yang menyambutnya dengan tendangan sambil melompat.
Yassine Bounou yang begitu perkasa di bawah mistar gawang Maroko sejak laga pertama tak bisa berbuat banyak.
Gol itu begitu bersejarah dan sangat berpengaruh bagi kedua tim. Gol tersebut disebut-sebut sebagai yang tercepat di semifinal Piala Dunia dalam 64 tahun terakhir atau sejak Vava melakukannya untuk Brasil pada edisi 1958.
Prancis mendapat angin segar. Sementara Maroko harus berjuang ekstra keras untuk mengejar. Perjalanan ke final terasa semakin jauh.
Kedua, kedalaman skuad Les Bleus.
Maroko tidak patah arang. Mereka mencoba mencari kesempatan untuk mencetak gol melalui serangan-serangan cepat. Namun, Prancis sepertinya tahu bagaimana meredam agresivitas Maroko.
Buktinya, Prancis mampu menggandakan keunggulan di menit ke-79. Gol kedua ini tidak lepas dari strategi Didier Deschamps dalam melakukan pergantian pemain.
Mantan pemain timnas Prancis itu memasukan Marcus Thuram menggantikan Olivier Giroud. Mbappe bisa beroperasi dari sisi tengah. Memungkinkannya melakukan lebih banyak penetrasi yang merusak konsentrasi para pemain Maroko.
Benar saja, kerja sama apik Mbappe dan Thuram dari sisi kiri berhasil membelah pertahanan Maroko. Sepakan Mbappe dari jarak dekat sempat membentur pemain Maroko. Bola itu bergulir ke arah Randal Kolo Muani yang berada dalam posisi bebas sehingga dengan tenang mencocor bola ke gawang Maroko.
Patut dicatat, beberapa nama di atas bukanlah pemain yang selalu mengisi "starting line-up" reguler. Mereka adalah pemain cadangan. Sang pemecah kebuntuan yang menorehkan catatan sebagai pemain AC Milan pertama yang mencetak gol di Piala Dunia abad ini, juga pengunci kemenangan berangkat dari bangku cadangan.
Theo menggantikan posisi saudaranya Lucas yang mengalami cedera di pertandingan pembuka. Kolo Muani mengambil tempat Ousmane Dembele sejak menit ke-79.
Dua starter lainnya, Dayot Upamecano dan Adrien Rabiot pun absen karena sakit. Jauh sebelum itu, mereka sudah kehilangan N'Golo Kante, Karim Benzema, dan Paul Pogba.
Apakah tanpa nama-nama besar itu, pesona Prancis kemudian meredup? Ternyata tidak. Para pemain pengganti dan pemain muda lainnya tetap bisa mengisi celah, malah tampil sebagai pembeda.
Hal ini menunjukkan satu hal. Kedalaman skuad Prancis begitu mewah. Modal penting bagi mereka untuk mewujudkan impian mempertahankan gelar juara, sekaligus menjadi negara pertama yang sanggup mengukir "back-to-back" juara setelah terakhir kali dilakukan Brasil pada edisi 1958 dan 1962.
Sedangkan di kubu Maroko, Walid Reragui yang dikenal sebagai pelatih yang cerdas dalam menyusun taktik dan tahu bagaimana memetik kemenangan tanpa mengambil terlalu banyak risiko cukup kerepotan ketika masalah menimpa beberapa pemain utama.
Secara umum, mereka unggul dalam penguasaan bola. Mereka membuat para pemain Prancis ketar-ketir. Babak pertama dan awal babak kedua yang mendebarkan bagi para penonton. Namun, terbukti tidak bisa mengulangi catatan impresif yang dilakukan di laga-laga sebelumnya.
Kondisi sang kapten, Romain Saiss dan tandemnya di lini belakang Nayef Aguerd yang tengah bermasalah menjadi pukulan tersendiri. Saiss tak bisa bertahan lebih lama dari 21 menit pertandingan untuk digantikan Selim Amallah.
Aguerd yang menghabiskan sebagian besar musim ini di bangku perawatan malah tidak diturunkan sama sekali. Ia digantikan di akhir pemanasan oleh pemain berusia 23 tahun yang bermain untuk Brest, Achraf Dari.
Absennya Saiss kemudian bergantung pada Amallah dan Dari menjadikan pertahanan Maroko sangat darurat. Dalam kesulitan, cukup terlihat kekuatan di sana. Namun, mereka sama sekali tidak bisa benar-benar membangun tembok kokoh seperti yang ditunjukkan selama ini.
Ketiga, ketenangan.
Maroko begitu bersemangat baik di dalam maupun di luar lapangan. Dukungan kepada tim ini datang dari mana-mana.
Para pemain Prancis jelas terganggu dengan suara bising yang datang dari sisi lapangan. Setiap kali para pemain Prancis menguasai bola, mereka akan diganggu dengan suara yang memekakkan telinga.
Dalam situasi penuh tekanan seperti ini, para pemain Prancis tetap tenang. Permainan mereka tetap terorganisir dan bisa menyelesaikan tantangan.
Mereka memiliki ambisi untuk menambah koleksi gelar, namun tidak membuat mereka bermain serampangan. Pergantian yang dilakukan Deschamps pada area pertahanan yang sungguh berisiko bisa dijawab oleh para pemain dengan penuh tanggung jawab.
Deschamps yang kini berusia 54 tahun memiliki memori indah baik sebagai pemain maupun pelatih. Ia adalah kapten ketika mereka merebut mahkota ema situ di kandang sendiri pada 1998.
Kini Deschamps, yang tidak lepas dari sorotan sebelum Piala Dunia menyusul penampilan Prancis yang menurun drastis, berada di ambang sejarah lainnya. Memenangkan trofi Piala Dunia dua kali sebagai pelatih.
Hanya saja mereka harus menghadapi partai pamungkas di Stadion Lusail pada Minggu (18/12/2022) tengah malam WIB nanti menghadapi tim yang pernah dikalahkan pada edisi sebelumnya di Moskow. Menghadapi Argentina yang 2018 digebuk 4-3 di babak 16 besar.
Namun, Argentina saat ini terlihat lebih bersemangat dan solid setelah mendapat pelajaran dari Arab Saudi. Sang kapten, Lionel Messi pun punya misi tersendiri. Menutup karier internasionalnya dengan  manis dan bersejarah melalui trofi Piala Dunia yang sudah dirindukan rakyat Argentina sejak 36 tahun silam. La Albiceleste terakhir kali angkat trofi pada edisi 1986.
Laga final nanti benar-benar menjadi penutup yang mendebarkan. Tidak hanya bertarung untuk menjadi pemenang trofi emas, tetapi juga pertarungan menjadi pemain terbaik, pencetak gol terbanyak, dan pemain muda terbaik yang mengerucut pada satu nama dari masing-masing kubu. Ya, siapa lagi kalau bukan Messi versus Mbappe.
Kepala tegak
Mimpi Maroko berakhir di semifinal. Para fan tentu bersedih. Pesta kemenangan tak bisa berlanjut hingga klimaks.
Namun, mereka harus rela memberikan tiket final kepada Prancis. Maroko pun tetap bisa pulang dengan kepala tegak. Meninggalkan Timur Tengah dengan rasa bangga dan hormat.
Tidak ada orang yang tidak menaruh respek dan apresiasi pada Maroko. Tim yang tidak diperhitungkan di awal namun bisa melangkah hingga semifinal. Membuat bangsa Arab dan Afrika semringah.
Sepak terjang mereka sama sekali tidak hanya bergantung pada campur tangan Dewi Fortuna. Mereka benar-benar memperagakan sepak bola atraktif dan efektif dan dipadu dengan kerja sama tim yang solid di semua sektor.
Tidak hanya itu. Di balik perjalanan mereka yang mengagumkan, mereka pun mengirimkan banyak nilai positif di luar urusan sepak bola. Salah satunya tentang bagaimana kuat dan dalamnya ikatan kekeluargaan antara seorang pemain dan anggota keluarganya.Â
Betapa tinggi penghargaan seorang anak kepada ibunya. Pemandangan yang nyaris tersaput oleh gemerlap sepak bola modern yang justru disarati aksi WAG's dari sisi lapangan.
Ketika kamera ramai-ramain menyoroti kemolekan pacar dan istri pemain dari sisi lapangan, para pemain Maroko justru menonjolkan para ibu dengan raut penuh haru dan bangga. Â Kepada mereka di tribun penonon para pemain itu akan berlari utuk dipeluk dan dicium setelah peluit panjang dibunyikan. Sebuah panggilan jiwa untuk selalu bersyukur dan tidak pernah lupa dari mana mereka berasal.
Selamat Prancis. Terima kasih Maroko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H