Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saya Bersyukur Pernah di Sekolah Berasrama

11 September 2022   05:54 Diperbarui: 11 September 2022   22:00 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wujud kita hari ini tidak dibentuk dari kekosongan. Kita ditempa oleh masa lalu, masa kini, dan akan terus menjadi di masa depan. Lembaga pendidikan adalah salah satu agen penting dalam proses pembentukan kita.

Seperti apa kita hari ini dan di hari mendatang ditentukan pula oleh aspek pendidikan. Kita mengambil jalan (sekolah) sesuai pertimbangan dan orientasi pendidikan masing-masing.

Entah kemudian pendidikan yang kita ambil, baik mengantar kita ke gerbang tujuan yang dicita-citakan sejak semula atau justru melemparkan kita pada kehidupan berbeda.

Banyak pertanyaan tentang model lembaga pendidikan mengemuka menyusul kasus kekerasan yang berujung kematian di salah satu sekolah berasrama favorit beberapa waktu lalu.

Apakah model sekolah berasrama masih relevan dengan tuntutan zaman? Apakah sebaiknya menuntun generasi muda untuk menjalani pendidikan dan pembentukan di sekolah non-asrama?

Bila sekolah-sekolah berasrama dibubarkan, apakah model sekolah non-asrama akan menjamin kasus serupa tidak terjadi?

Lebih penting dari itu, apakah ada model sekolah yang lebih selaras dan mampu menjamin "output" berkualitas dengan menjalani proses yang jauh dari hal-hal yang tidak diinginkan?

Tak lupa mengirim empati mendalam kepada keluarga korban atau orang yang pernah "terluka" oleh kehidupan berasrama, saya tidak ingin masuk dalam polemik tersebut.

Masing-masing sekolah, entah berasrama atau tidak, memiliki standar, kondisi, dan protokol tersendiri. Semuanya dibangun untuk menyasar tujuan mulia, baik itu memanusiakan manusia, maupun mengantar para siswa atau formandi pada tujuan khusus tertentu.

Bila ada yang kurang atau keliru, masing-masing sekolah melakukan evaluasi. Hanya mereka yang tahu akan apa yang sesungguhnya terjadi. Terkadang ukuran yang dipakai oleh suatu sekolah berasrama tidak bisa dipakai untuk mengukur jenis sekolah yang sama di tempat lain.

Kita pun tak bisa serta merta menilai apalagi langsung memberi stempel buruk pada sekolah berasrama secara keseluruhan hanya karena ada masalah pada sekolah tertentu.

Bagaimanapun juga, pada titik dan aspek tertentu, kita tetap menempatkan kehidupan masa lalu di sekolah (berasrama atau tidak) pada tempat tersendiri.

Hingga hari ini, saya masih menyimpan dengan baik kenangan akan kehidupan di sekolah berasrama dengan rasa syukur dan bangga yang tak pernah pudar.

Pembentukan Diri

Saya menjalani kehidupan berasrama sejak SMP, SMA, hingga enam tahun berselang. Cukup panjang memang. Boleh dikata sebagian dari masa kecil hingga seluruh masa remaja dihabiskan di sekolah seperti itu.

Sekolah itu merupakan salah satu sekolah favorit di daerahku. Orang tua berlomba-lomba mengirim anaknya ke sana. Sudah ratusan bahkan ribuan alumni lahir dari rahim yang sama. Mereka menyebar ke seantero dunia.

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sekolah berasrama bukan baru muncul belakangan. Ia sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Hingga hari ini masih tetap bertahan setelah melewati musim demi musim dengan tantangan silih berganti.

Sekolah tersebut diincar karena menerapkan sistem pendidikan dan pembentukan yang integral. Pembentukan sejak SMP meliputi lima aspek besar. Istilah beken yang dipakai adalah 5 S: Sanctitas, Sanitas, Scientia, Socialitas, dan Sapientia.

Sanctitas atau kekudusan, tentu terkait dengan aspek spiritualitas atau kehidupan rohani. Sanitas menyangkut kesehatan, baik jasmani (fisik) maupun rohani (mental). Pendidikan yang terkait akal budi dan olah nalar (scientia). 

Socialitas terkait kehidupan bersama baik dalam asrama maupun dengan lingkungan sekitar (solidaritas atau kesetiakawanan). Mengasah empati dan kepekaan sosial.

Tak kalah penting adalah kebijaksanaan (Sapientia) untuk memilah yang baik dan buruk, benar dan salah, juga pembiasaan melakukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan.

Pembentukan yang menyasar berbagai unsur tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan kurikulum dan pedoman mulai dari yang diatur oleh pemerintah atau negara hingga sejumlah tambahan.

Sekolah formal dan kehidupan asrama dipadu. Pagi hingga tengah hari, seperti jam sekolah umumnya, para siswa berada di ruang-ruang kelas. Saat-saat selanjutnya mereka menjalani kehidupan di asrama.

Para siswa menjalani hari-harinya dalam kerangka aturan yang ketat. Mulai dari bangun tidur pada pukul 04.45 WITA hingga tidur malam sekitar pukul 21.00 WITA.

Setiap waktu begitu berharga. Dalam satu putaran hari semua aspek diatur agar memberi manfaat. Kapan harus belajar, berdoa, makan, istirahat, bekerja, berolahraga, rekreasi, dan sebagainya.

Dalam kebersamaan kami menjalani setiap tahap pembentukan. Kami menenun hari-hari kami dengan banyak kisah.

Kami dibentuk dalam kesetaraan dengan fasilitas yang digunakan setiap orang tanpa membeda-bedakan status sosial dan latar belakang kultural. Semua diperlakukan sama.

Setiap orang, pun tanpa terkecuali, harus menjalani tanggung jawab dan tugas yang telah digariskan. Tidak hanya mengurus diri baik kebersihan maupun kerapihan, para siswa juga harus belajar untuk memperhatikan kebersihan lingkungan, kondisi dan kehidupan sesama, dan belajar melayani yang lain.

Memang tidak sedikit yang kemudian gagal karena tidak sanggup bertahan dengan rutinitas dan kehidupan yang ketat, disiplin yang sangat tinggi, dan tuntutan skor dalam kelima aspek itu yang tidak mudah. Bahkan, tak sedikit siswa angkat kaki dalam hitungan hari. 

Bila ada yang secara sengaja meninggalkan asrama tanpa alasan jelas bisa mendapat teguran. Siswa yang kedapatan bertindak tidak jujur seperti menyontek akan langsung dikeluarkan.

Begitu juga rapor merah pada mata pelajaran tertentu berarti harus siap-siap gulung tikar. Tidak ada istilah tahan kelas. Bila ingin terus bertahan maka harus mencapai batas nilai tertentu. 

Dari kehidupan berasrama itu saya sungguh merasakan manfaatnya. Saya belajar mandiri. Saya memperdalam kehidupan spiritual. Aspek intelektual, kinestetik, emosional, dan sosial ditempa.

Pada gilirannya itu sangat membantu saya saat melanjutkan pendidikan dan kehidupan selanjutnya. Saya sudah terbiasa tepat waktu. Bukan hal sulit untuk mengurus diri sendiri dan memberi perhatian pada sesama.

Saya hanya perlu memperdalam dasar-dasar pendidikan yang sudah diterima dan ditanam di masa lalu. Bakat-bakat pun tumbuh dan bersemi di sekolah berasrama itu. Semuanya menjadi bekal penting untuk kehidupanku saat ini.

Sejumlah catatan

Memang sekolah berasrama seperti yang saya jalani tidak tanpa konsekuensi. Meninggalkan kebersamaan dengan orang terdekat seperti ayah, ibu, saudara dan saudari, berikut berbagai kemewahan yang menyertainya untuk selanjutnya menyerahkan diri dalam bimbingan para formator (baik guru maupun pembina asrama) dan rela menjalani kehidupan yang jauh dari berbagai kenikmatan yang bisa didapat dengan mudah di luar asrama.

Terkadang sulit membayangkan seorang anak kecil yang baru tamat SD sudah harus berpisah dengan orang tua, selanjutnya ditempa untuk hidup mandiri dan jauh dari kenyamanan.

Begitu juga hati kerap bergejolak setelah menjalani kehidupan yang monoton selama bertahun tahun dan terkadang terlintas dalam benak keinginan untuk berkata cukup.

Para formator adalah perpanjangan tangan orang tua. Para siswa sesungguhnya tidak hanya dibentuk oleh mereka yang diberi wewenang khusus. 

Kehidupan kami juga ikut ditempa oleh teman kelas, kakak kelas, adik kelas, para karyawan dan karyawati, hingga orang-orang di sekitar.

Dalam hidup bersama tak bisa luput dari dinamika. Gesekan-gesekan tak terhindarkan. Kekeliruan dalam komunikasi dan relasi, juga kekhilafan memperlakukan milik bersama dan milik orang lain. Rentan tertukar barang pribadi mulai dari sendok makan hingga celana dalam.

Juga persaingan antar sesama teman, tekanan dari kakak kelas, dan kecenderungan untuk menekan balik yang lebih junior. Wujudnya bisa bermacam-macam. Dampaknya pun beragam.

Sekolah berasrama juga ditandai oleh pembagian yang jelas dan pemisahan yang ketat. Saya menjalani kehidupan berasrama yang sangat homogen.

Kami semua adalah anak laki-laki. Hari-hari kami adalah pertemuan antar sesama pria, baik di ruang kelas, lapangan olahraga, ruang rekreasi, maupun di kamar tidur.

Namun, tidak berarti kami anti terhadap kaum wanita. Kami juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan para guru perempuan, karyawati, juga bisa berkorespondensi dengan lawan jenis. Sama halnya seperti kami memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siswa-siswi dari sekolah lain dalam berbagai kesempatan seperti pertandingan persahabatan dan kegiatan lainnya.

Memang patut diakui, porsi relasi dengan lawan jenis begitu terbatas. Aspek afeksi dan psikoseksual kurang ditantang. Tapi itu tidak selalu berarti kami kemudian berkembang menjadi manusia "abnormal."

Di sejumlah sekolah berasrama, kehidupan lebih heterogen. Di ruang kelas bisa ditemui siswa laki-laki dan perempuan. Tidak hanya dalam urusan intrakurikuler, dalam kegiatan ekstrakurikuler pun kehidupan antar dua jenis kelamin itu lebih berbaur. Namun, tetap ada garis batas yang jelas.

Sesungguhnya masih banyak hal bisa saya ceritakan. Hal terakhir yang perlu saya singgung adalah perbandingan siswa dan pembina. Formandi dan formator.

Sepengalaman saya, rasio keduanya masih belum seimbang. Seorang "bapak" asrama hanya dibantu beberapa formator harus memikul tanggung jawab besar.

Mereka dituntut mengawasi, menuntun, mengarahkan, memberikan pelajaran, hingga mendampingi siswa yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal setiap siswa memiliki kecenderungan dan tingkat perkembangan dalam setiap aspek, berbeda-beda. Masing-masing perlu dituntun dengan pendekatan berbeda.

Jelas itu pekerjaan sangat berat dan melelahkan. Tidak mengherankan bila banyak hal kemudian luput dari pengamatan dan pengawasan mereka.

Sekalipun seorang siswa terlihat patuh pada aturan dan menampilkan diri sebagai sosok yang taat, namun tetap dibutuhkan sentuhan personal. Apalagi para siswa yang terang-terangan melenceng dari rel.

Hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di saat para pembina lengah. Para siswa bisa secara sengaja memanfaatkan keadaan itu.

Menjadi guru dan pembina adalah pekerjaan luhur. Sekaligus menantang. Tidak semua orang mampu dan mau bekerja di sekolah berasrama. Dibutuhkan kerelaan dan kerendahan hati yang luar biasa. Juga fisik yang prima. 

Mereka harus bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman, kurikulum yang selalu berganti, karakter generasi yang datang dan pergi, dan dinamika eksternal seperti perkembangan teknologi yang bergerak begitu cepat.

Memadukan antara kecakapan pedagogis dan kemahiran teknologi sudah menjadi tuntutan yang sulit ditawar. Meski mereka tidak selalu dibekali dengan fasilitas mutakhir dan kesempatan luas untuk meng-update diri. 

Menyadari hal itu, maka saya selalu bersyukur pernah menjalani kehidupan di asrama. Saya tidak pernah menyesal untuk kesempatan istimewa itu.

Terima kasih almamaterku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun