Indonesia, juara bertahan sekaligus pemegang gelar terbanyak di ajang Piala Thomas, mengalami antiklimaks dalam upaya mempertahankan gelar di Impact Arena, Bangkok, Thailand (15/5/2022) siang hingga petang WIB.
Pemilik 14 gelar tak bisa mengulangi kegemilangan saat mencukur China 0-3 di perempat final atau memenangi duel menghadapi Jepang di semifinal yang sangat menguras tenaga dan emosi.
Tidak ada pengulangan seperti final edisi sebelumnya di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, Oktober 2021, kala menggasak China 3-0. Justru India membuat Indonesia mengalami nasib seperti China kurang dari setahun lalu.
Kemenangan India yang diraih jauh dari tujuh jam, tidak seperti kala tim putri Korea Selatan merebut mahkota dari sang juara bertahan sekaligus "ratu" Piala Uber dengan 15 gelar, sehari sebelumnya.
India, memanfaatkan statusnya yang kurang diunggulkan untuk menggapai klimaks, melampaui catatan terbaik dua kali nyaris menggapai final, saat Piala Thomas masih dalam bentuk awal, di era 1950-an.
Berkekuatan para pemain muda yang tengah naik daun, serta pemain senior yang masih menghuni jajaran elite, tim dari Asia Selatan itu berhasil merengkuh trofi turnamen beregu putra itu dari tim Merah Putih. Pencapaian fenomenal, pertama kali dalam sejarah bulu tangkis Negara Anak Benua itu.
Apakah India memang pantas menjadi juara di turnamen yang mulai dipertandingkan sejak 1949 itu? Lantas, mengapa Indonesia kali ini mengalami nasib seperti enam kesempatan sebelumnya (1967, 1982, 1986, 1992, 2010, dan 2016?
Pertama, kebangkitan Lakshya Sen, Ginting tak konsisten
Ginting menjadi ujung tombak skuad Merah Putih kala menghadapi Lakshya Sen. Peringkat dunia Ginting lebih baik, tetapi Lakshya memiliki modal kemenangan di pertemuan pertama mereka di German Open 2022 dengan skor telak 7-21 9-21.