Urusan pekerjaan dan banyaknya "deadline" mengokupasi hampir sebagian besar waktu. Prinsip "work-life balance" kemudian terdengar sebagai slogan kosong. Hidup adalah bekerja terdengar lebih relevan.
Sejumlah siasat
Tidak sedikit karyawan menganggap hal-hal tersebut sebagai sebuah kewajaran. Mereka begitu memaklumi sikap atasan yang begitu menuntut dan selalu mengganggu mereka seperti tak mengenal ampun, sebabnya macam-macam. Mulai dari rasa sungkan, tidak enak hati, hingga rasa takut dinilai buruk.
Namun, tidak sedikit pula karyawan yang diam-diam mempertanyakannya, atau meluapkannya secara terang-terangan.Â
Kelompok ini tak peduli dengan berbagai dampak yang mungkin akan terjadi. Bagi mereka lebih penting angkat bicara ketimbang dibungkam begitu saja.
Apakah mereka yang mempertanyakan keadaan yang memberatkan itu pantas dihakimi sebagai pemberontak?
Tentu tidak. Setiap pekerjaan memiliki batasan. Setiap karyawan memiliki hak dan kewajiban tertentu. Begitu juga atasan yang notabene adalah karyawan, kecuali ia adalah pemilik perusahaan.
Bila demikian bagaimana siasat yang tepat untuk menghadapi situasi dilematis seperti ini?
Pertama, keterbukaan. Seorang karyawan mungkin tak pernah mengetahui lebih jauh latar belakang atasannya.Â
Atasannya bisa bekerja melebihi batas waktu bisa saja karena statusnya yang masih lajang, tidak memiliki anak, tidak memiliki hewan peliharaan, tidak memiliki tanaman, dan tidak tertarik melakukan aktivitas di luar urusan profesional.
Atasan mungkin terlanjur terpenjara dalam ritme dan irama kerja yang sudah ia bangun sendiri tanpa menyadari bagaimana repot dan kewalahannya para bawahan.