Rangkaian turnamen beregu mulai dari Piala Sudirman 2021 di Vantaa, Finlandia, hingga Piala Thomas dan Uber 2020 yang baru saja berahir di Ceres Arena, Aarhus, Denmark baru saja berakhir.
China menegaskan dominasinya di turnamen beregu campuran dengan gelar ke-12, jauh meninggalkan Korea Selatan dengan empat gelar, dan Indonesia yang baru kebagian sekali di edisi pertama di Jayarta, 1989 silam.
Dua turnamen berikutnya pun menjadi panggung pertunjukan kedigdayaan dua negara: tim putri China dan tim putra Indonesia.
China merajai Piala Uber dengan raihan gelar ke-15 setelah terakhir kali angkat trofi pada 2016 silam. Sementara itu, dominasi Indonesia semakin terlihat sebagai pengoleksi Piala Thomas terbanyak usai menjadi jawara yang ke-14 kalinya setelah melewati puasa selama 19 tahun.
Menariknya, baik China maupun Indonesia, menambah koleksi gelar usai membungkam juara bertahan. China membuat Jepang gagal menambah koleksi enam gelar. Indonesia membuat raihan China tertahan di angka 10.
Di balik euforia kemenangan para juara dan sesal yang menyertai kegagalan peserta lainnya terdapat banyak cerita yang kemudian berkembang. Â Salah satunya terkait bagaimana para penggemar memaknai baik keberhasilan maupun kegagalan itu.
Ada dua sikap ekstrem yang selalu menyasar atlet. Di satu sisi, puja-puji untuk sebuah prestasi. Di sisi berbeda, nyinyir usai membawa pulang kekalahan.
Pujian akan datang dengan begitu dahsyat menyertai prestasi menjadikan pemenang itu seperti manusia setengah dewa tanpa cela.
Sementara itu, ketika penampilan tak bisa maksimal dan kekalahan tak bisa dielak, maka yang mengemuka adalah serangan yang menghina seakan-akan kekalahan tersebut begitu nista.
Serangan dilancarkan kepada atlet seperti pecundang yang baru kembali dari medan laga seperti dunia akan segera berakhir alias tidak ada hari esok untuk membalas dan menjadi lebih baik.