Bila diperhatikan ada peristiwa haru saat Messi berbicara terakhir kali sebagai pemain Barcelona beberapa jam lalu. Bukan semata-mata tentang La Pulga yang terisak-isak.
Saat Messi tak kuasa menahan tangis, Roccuzzo hadir di dekatnya. Roccuzzo duduk di barisan depan bersama ketiga anak mereka. Ia selalu memperhatikan gerak-gerik suaminya.
Tak heran ketika Messi menangis, Roccuzzo tahu pertolongan apa yang bisa ia berikan. Ia sigap mengeluarkan tisu dari tasnya. Tanpa menunggu lama, wanita 33 tahun itu maju beberapa langkah mendekati sang suami. Kepada Messi, Roccuzzo menyerahkan lembaran tisu itu. Sehelai kertas yang sangat berguna bagi Messi di saat-saat seperti itu.
Pesan cinta
Tentu sudah menjadi hal yang lumrah memberikan bantuan kepada seseorang yang sedang bersedih. Sudah jadi panggilan kemanusiaan dan naluriah seorang istri membantu suami saat menghadapi saat-saat sedih. Begitu juga sebaliknya.
Namun di balik sepotong tisu itu ada cerita tentang cinta dan perhatian. Roccuzzo yang tak pernah menjauh saat Messi sedang dirundung duka. Saat hati Messi sedang galau, Roccuzzo selalu di dekatnya.
Messi dan Roccuzzo sudah membuktikan betapa kuat hubungan mereka. Dari banyak pemberitaan kita menangkap bagaimana kisah percintaan mereka bermula, tumbuh, dan bertahan hingga hari ini.
Namun cerita cinta di antara Messi dan Roccuzzo seakan tenggelam di balik pesona Messi di lapangan sepak bola yang menyihir banyak orang. Rekor, gol, dan trofi yang datang silih berganti kemudian melahirkan puja-puji selangit.
Terkadang Messi hanya ditempatkan tak jauh dari sepak bola. Para penggemarnya seakan-akan menganggap Messi adalah dewa tanpa sisi-sisi kemanusiaan. Messi yang mampu mencetak gol semata. Messi yang seakan tidak memiliki kehidupan lain di luar lapangan sepak bola.
Padahal di balik Messi yang hebat itu ada Roccuzzo yang setia. Wanita yang membuatnya tak bisa berpaling walau sudah menjadi pemain hebat sekalipun.
