Pekan Suci. Minggu Suci atau holy week. Minggu Sengsara (Hebdomada Sancta). Demikian sederet sebutan dalam tradisi Kekristenan untuk menyebut satu pekan menuju hari Paskah, salah satu hari keagamaan (ter)besar. Dimulai dari Minggu Palma hingga Sabtu Suci. Hari Paskah selalu jatuh di hari Minggu.
Hanya saja, beberapa istilah di atas mengandung kerancuan. Sebutan Minggu Suci bisa membingungkan. Minggu yang dimaksud bisa dipahami sebagai pekan dan hari. Mengingat konteksnya adalah rangkaian peristiwa iman yang berlangsung selama sepekan, maka sebutan Pekan Suci dianggap paling tepat dan jelas.
Selama seminggu sejak Minggu Palma, ada sejumlah peristiwa iman yang direnungkan dan dirayakan. Minggu Palma sebagai awal, ditandai dengan peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem mengendarai keledai, kemudian dikenangkan dan dirayakan oleh orang Kristen, khususnya Katolik, hingga dewasa ini melalui prosesi dengan daun-daun palma.
Lalu, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci atau Malam Paskah (sehari sebelum Hari Paskah). Refleksi teologis Kamis Putih berpusat pada peringatan perjamuan akhir Yesus dan para murid-Nya.Â
Jumat Agung merupakan peristiwa kematian Yesus di kayu salib. Sementara Sabtu Suci menjadi saat-saat penantian jelang kebangkitan Yesus.
Rangkaian perayaan Pekan Suci tentu bisa dipahami, dimaknai, dan dirayakan secara berbeda di masing-masing gereja. Juga di antara gereja ritus Timur dan ritus Barat. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin masuk dalam perdebatan teologis dan pembedaan perayaan di antara setiap gereja.
Namun, keyakinan yang tidak direfleksikan secara baik akan membeku dalam ritus yang kering dan dogma yang beku. Ia menjadi tidak bermakna apa-apa karena terlanjur menjadi "status quo."
Bukankah dalam keyakinan agama terkandung nila-nilai yang bisa diejawantahkan dalam laku kontekstual hidup sehari-hari? Untuk mendapatkannya, kita perlu mencecap setiap peristiwa iman dengan mata yang terbuka, telinga yang awas, dan pikiran yang jernih.
Realitas dunia terus berubah. Perubahan yang terus terjadi di depan mata itu menuntut pemahaman dan penghayatan iman yang terus diperbaharui agar sejalan dan selaras. Di situ, hemat saya, pemahaman akan ajaran iman menuntut keterlibatan. Setidaknya bagi saya atau bagi orang-orang yang sependapat dengan tulisan ini.