Belakangan ini sedang ramai polemik seputar kunjungan Presiden Joko Widodo ke Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Selasa, 24 Februari 2021 lalu. Saat itu Jokowi bertandang ke sana untuk acara peresmian di dua tempat berbeda.
Pertama, peresmian food estate atau lumbung pangan di Desa Makata Keti, Kecamatan Katiku Tan, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kedua, setelah selesai urusan di Pulau Sumba, Jokowi kemudian terbang ke Pulau Flores. Tepatnya, di Kabupten Sikka, orang nomor satu di negeri ini meresmikan Bendungan Napun Gete, berkapasitas 11.22 juta meter kubik.
Perang wacana justru lebih meruncing pada kerumunan yang timbul terutama di Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka, alih-alih soal "tukar pikiran" bagaimana memanfaatkan bendungan dengan nilai investasi lebih dari Rp 800 miliar.
Magnitudo tudingan dan pembelaan menyusul sambutan warga setempat pada Jokowi lebih keras terdengar ketimbang diskusi soal pemanfaatan dan keberlangsungan lumbung pangan untuk menekan angka kemiskinan di wilayah itu dari 34 persen.
Kita kemudian paham mengapa kerumunan itu menjadi fokus perang urat saraf. Kita sedang berperang mengatasi pandemi Covid-19 dengan nyawa sebagai taruhan. Hal-hal terkait penerapan protokol kesehatan akan cepat memantik pembicaraan.
Terlepas dari perdebatan itu, kunjungan tersebut menunjukkan perhatian Jokowi atas berbagai persoalan dasar yang sedang mengemuka di provinsi di sebelah tenggara Indonesia itu. Kurang sepekan sebelumnya, BPS merilis data terkait kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020, NTT berada di urutan ketiga dari 10 provinsi termiskin di tanah air. Menukil Kompas.com, (18/2/2021), dengan persentase kemiskinan sebesar 21,21 persen, NTT hanya kalah dari Papua Barat (21,70 persen) dan Papua (26,80 persen).
Data ini tentu masih bisa diverifikasi, dielaborasi, hingga dikonfrontasi dengan kenyataan di lapangan. Namun begitu, hasil survey itu sedikit banyak memberikan gambaran tentang apa yang sedang terjadi dengan masyarakat NTT.
Apa sebab kemiskinan itu? Faktor-faktor apa yang berpengaruh dan berkontribusi pada besaran persentase tersebut? Lantas, bagaimana solusi untuk menurunkan angka kemiskinan itu?
Soal Gizi
Soal kemiskinan jelas kompleks. Multifaset, multi sebab, dan multi dampak. Sebab kemiskinan misalnya, antara lain karena krisis ekonomi, pertambahan penduduk, kebijakan pemerintah, hingga keadaan kahar (force majeure) seperti pandemi Covid-19 yang menerjang siapa saja tanpa pandang bulu dan menyapu semua sektor kehidupan tanpa ampun.
Namun begitu, soal kemiskinan itu bisa dihadapkan dengan faktor lain seperti masalah gizi. Mengapa gizi? Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pembangunan manusia (status gizi) tak ubahnya tiga variabel yang saling mempengaruhi. Banyak teori dan kerangka hubungan timbal balik yang berbicara tentang ketiga anasir itu.
Salah satu yang bisa kita pakai adalah pemodelan yang dibuat BPS dan United Nations Development Programme atau UNDP (1999). Pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sehingga akan mengurangi angka kemiskinan. Dampaknya akan terasa pada tingkat dan pola pengeluaran konsumsi rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan investasi pembangunan manusia (gizi, kesehatan, dan pendidikan).
Dari sisi berbeda, peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan status gizi, kesehatan, dan pendidikan yang baik akan merangsan peningkatan kesempatan dan produktivitas kerja yang pada gilirannya akan menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan penting kemudian mengemuka. Mana yang menjadi faktor determinan dari antara ketiga itu? Bagaimana bila salah satu faktor itu tidak bisa menjaga keseimbangan dengan faktor yang lain? Bagaimana bila ada satu, dua, atau ketiga faktor itu sungguh-sungguh bermasalah?
Tentu logika tersebut bisa dibaca secara terbalik. Status gizi yang rendah, problem kesehatan dan pendidikan yang masih terjadi, akan menurunkan produktivitas kerja dan prestasi sehingga pertumbuhan ekonomi akan bergerak turun.
Soal gizi misalnya, akan sulit membayangkan masa depan generasi yang cerah bila asupan nutrisi tak diperhatikan. Bermasalah dengan gizi akan mengarah pada serangkaian dampak baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satunya adalah stunting. Stunting atau kerdil dalam arti paling sederhana, memberi dampak yang luas, mulai dari masalah tumbuh kembang (pertumbuhan tubuh, perkembangan otak, gangguan metabolisme, rentan penyakit tidak menular), hingga prestasi (kesulitan belajar, pencapaian akademik di sekolah hingga kelak kinerja di tempat kerja).
Gatra.com (22/10/2020) mengutip Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dr. Mese Ataupah, melaporkan prevalensi balita stunting di NTT pada periode Agustus 2020 sebesar 27,5 persen. Angka itu mengalami penurunan dari 30,1 persen di 2018 dan 27,9 persen di 2019. Namun, angka tersebut masih jauh dari standar WHO dengan batas maksimal 20 persen (seperlima dari jumlah total anak balita).
Stunting memiliki banyak sebab, baik langsung maupun tidak langsung. Water, Sanitation and Hygiene (WASH) sebagai faktor tidak langsung. Serta nutrisi ibu saat hamil, penyakit infeksi, serta nutrisi balita sebagai sebab langsung.
Dr.dr. Diana Sunardi, M.Gizi, SpGK dalam webinar "Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi" coba meringkas siklus stunting. "Berawal dari status gizi yang kurang baik pada remaja putri sehingga saat kehamilan menjadi kurang baik. Akan lahirkan anak dengan Berat Badan Lahir Rendah. Saat balita, gizi tidak dipenuhi maka akan mengalami stunting."
Mata Rantai
Salah satu mata rantai persoalan gizi adalah nutrisi ibu saat hamil, anak balita, hingga remaja. Salah satu nutrisi penting adalah zat besi. Kekurangan zat besi akan menyebabkan anemia defisiensi besi.
Dokter Diana, dokter spesialis klinik gizi dari Indonesian Nutrition Association (INA), memaparkan data Riskesdas (2018) tentang prevalensi kejadian anemia pada ibu hamil di Indonesia. Bukannya mengalami penurunan, prevalensi justru meningkat dari 37,1 persen pada 2013 menjadi 48,9 persen pada 2018. Bagaimana NTT? Sebanyak 46,2% ibu hamil mengalami anemia!
Mengutip WHO, anemia merupakan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) dalam darah. Mengacu pada penjelasan dr.Diana kita bisa mengidentifikasi seseorang terkena anemia atau tidak dengan melihat kadar Hb dalam darah. Namun ada klasifikasi berdasarkan usia, jenis kelamin, dan status seseorang.
Seorang anak bisa dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobin berada di bawah 11-13 gram per desiliter. Sementara itu, seorang pria akan disebut menderita anemia bila kadar Hb kurang dari 14-18 gram per desiliter. Wanita dengan kadar Hb kurang dari 12-16 gram per desiliter dianggap penderita anemia. Bila kadar Hb ibu hamil kurang dari 11 gram per desiliter maka ia menderita anemia.
Pada kasus anemia defisiensi besi akan berakibat jangka pendek dan panjang. Pertama, anemia pada ibu hamil akan berdampak pada risiko keguguran, pendarahan pascapersalinan, kelahiran Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), hingga kelahiran prematur.
Kedua, tumbuh kembang anak akan terganggu. Aspek kognitif anak akan bermasalah. Pasalnya, zat besi sangat penting untuk perkembangan fungsi otak.
Selain aspek kecerdasan, perkembangan motorik dan mental anak pun akan bermasalah. Anak yang memiliki anemia akan sulit berkonsentrasi, daya tahan tubuh berkurang, mudah lelah, tidak bersemangat dan infeksi berulang. Lebih jauh dari itu, demikian dr.Diana, akan mempengaruhi prestasi dan kinerja di masa depan.
Ketiga, bila tidak ditangani dengan baik dan tepat, maka akan menyebabkan gangguan jantung. Oksigen yang tidak didistribusi dengan baik ke seluruh tubuh akan memaksa jantung bekerja lebih keras. Tidak hanya gagal jantung, kematian pun bisa terjadi.
Ironi
Jumlah penduduk NTT berdasarkan sensus penduduk 2020 yang dipublikasikan di ntt.bps.go.id adalah 5,33 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk per tahun (2010-2020) sebesar 1,25 persen.
Sebagian besar penduduk NTT didominasi generasi Z (usia 8-23) tahun yang mencapai 34,72 persen. Menyusul generasi milenial (24-39 tahun) sebesar 25,17 persen. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibanding penduduk perempuan.
Sebagian besar penduduk berada di wilayah Timor (Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Alor) yang mencapai 2,37 juta jiwa (44,52 persen). Sisanya berada di Pulau Flores, Pulau Lembata, Pulau Adonara dan sekitarnya.
Alam di NTT cukup beragam. Keadaan tanah misalnya, relatif berbeda satu pulau dengan pulau lainnya. Tanah di Pulau Flores dan pulau-pulau kecil di sekitarnya umumnya tanah vulkanis. Kondisi ini tidak kita temukan secara umum di pulau Sumba dan Timor.
Musim kering yang relatif panjang, curah hujan yang tidak teratur, serta keadaan topografi dan struktur tanah jelas berpengaruh pada keadaan vegetasi dan pola kehidupan penduduknya.
Sebagian besar tanah pertanian terdapat di Flores Barat, sisanya tersebar antara lain di wilayah Timor Tengah Selatan, Kupang, Belu, dan Sumba Barat. Area peternakan tersebar hampir di semua kabupaten yang umumnya diusahakan secara ekstensif.
Sebagian besar penduduk hidup dan bekerja di sektor pertanian, termasuk peternakan. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, industri, angkutan, jasa, dan sebagainya.
Komoditi utama yang banyak dihasilkan dan diperdagangkan adalah hasil-hasil pertanian seperti jagung, beras, umbi-umbian, kacang-kacangan, kopra, dan kopi. Selain itu sapi, kerbau, kuda, dan babi sebagai hasil peternakan. Tidak terkecuali hasil-hasil perikanan dan industri kecil.
Situasi ini kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan getir dan ironis. Mengapa di tengah situasi seperti itu NTT mendapat predikat miskin? Mengapa angka stunting dan anemia masih tinggi? Apa yang salah dengan pemanfaatan alam tersebut?
Doker Diana menyebut ada beberapa sebab anemia. Pertama, asupan makanan. Riskesdas 2018 melaporkan konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi nabati, sementara protein kurang diperhatikan. Hal ini membuat kita kerap mengalami defisit protein dan makronutrien.
Beberapa di antaranya adalah defisit zat besi, terutama besi heme dan vitamin C. Di sisi lain, konsumsi fitat dan tannin (kopi dan teh) tak terkendali.
"Zat besi heme terdapat dalam makanan yang langsung diserap tubuh," ungkap dr.Diana untuk membedakan dari non heme yang harus melewati proses agar bisa diserap dengan baik oleh tubuh.
Kedua, sakit baik infeksi atau penyakit kronis seperti kanker dan ginjal. Ketiga, pada wanita khususnya karena perdarahan, infestasi parasit, dan popiosis yang biasa terjadi pada usia 5 tahun hingga masa remaja, berlanjut sampai dewasa.
Remaja mengalami peningkatan risiko anemia karena pertumbuhan yang cepat dan peningkatan massa otot. Wanita dengan perdarahan menstruasi berat beresiko lebih besar mengalami anemia. Karena itu, remaja putri memiliki kebutuhan zat besi untuk mengimbangi kehilangan darah menstruasi dan pertumbuhan yang meningkat.
Kerja bersama
Soal stunting umumnya dan anemia khususnya adalah pekerjaan rumah bersama. Pemerintah, sebagaimana ditegaskan dr.Diana, sungguh menaruh perhatian pada soal-soal tersebut. Penekanan ini terlihat jelas pada peringatan Hari Gizi Nasional ke-61 pada 25 Januari 2021.
Komitmen tersebut mesti didukung dengan langkah-langkah konkret. Tidak hanya sekadar kampanye dan komunikasi belaka. Perlu ada aksi nyata dan terintegrasi untuk menciptakan ketahanan pangan dan gizi.
Pemberian bantuan pangan, makanan tambahan, suplemen (besi folat, kalsium, vitamin, susu pertumbuhan, tablet penambah darah, dll), kelengkapan sarana dan fasilitas kesehatan, kerja sama lintas sektor (orang tua, sekolah, dinas dan instansi terkait), berikut investasi dan inovasi pengembangan produk, serta keamanan pangan sebagaimana amanat Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.18/2012 tentang Pangan.
Di level keluarga, penting untuk memastikan kebutuhan nutrisi terutama sumber zat besi.
Sumbernya bisa dari unsur hewani (daging ayam, daging sapi, hati ayam, hati sapi, ikan salmon), maupun nabati (bayam, wortel, kangkung, tempe, tahu, brokoli, jamur, daun singkong, dll).
"Seorang balita butuh sekitar 7 mg zat besi. Karena itu dengan cukup makan satu hati ayam sudah memenuhi kebutuhan zat besi," tegas dr.Diana.
Daun-daun hijau mengandung zat besi tinggi. Dokter Diana menyarankan untuk dikonsumsi bersama makanan yang meningkatkan penyerapan seperti Vitamin C, sekaligus menghindari unsur yang menghambat penyerapan seperti yang ada dalam kopi atau teh.
Bahan makanan sumber Vitamin C yang bisa dicoba adalah jambu biji (dengan kandungan 108 mg/100 gram), mangga (41 mg/100 gram), tomat 34 mg/100 gram) atau jeruk (30-50 mg/100 gram).
Hemat saya bahan-bahan makanan itu tak menjadi barang langka di NTT. Daun-daun hijau misalnya tidak susah ditemukan. Bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam aneka tanaman itu.
Peran penting lain yang tidak bisa diremehkan adalah kontribusi sektor swasta. Danone Indonesia adalah contoh.
Arif Mujahidin, Corporate Communication Directors, mengatakan sebagai perusahaan makanan, Danone ingin menjadi yang terdepan dalam revolusi makanan. Berbagai gerakan digalakkan untuk menerapkan kebiasaan makan dan minum yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Salah satu program yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan adalah program bersama cegah stunting. Bekerja sama dengan pemerintah dan sejumlah mitra strategis, Danone menjalankan program yang sudah terlihat hasilnya.
"Di Magelang berhasil turunkan angka stunting 4,3 persen dalam enam bulan," Arif mengkonfirmasi.
Danone bersama Yayasan Jaringan Peduli Masyarakat (JPM) pun mulai menyasar NTT. Program Generasi Bebas Stunting melalui Nutrisi Edukasi Keluarga Menuju Sehat (Gasing Nekmese) mulai dijalankan di Kabupaten Kupang. Program ini menyasar pada akses air bersih, sanitasi dan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga edukasi nutrisi. Selain itu melalui Danone AQUA sudah membantu warga di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang kesulitan akses air bersih atau WASH (Water Access, Sanitation and Hygiene).
Danone pun mendukung penuh program "Isi Piringku", menjalankan program Warung Anak Sehat, GESID, dan masih banyak lagi. Kita tentu berharap program-program yang sudah menyasar ribuan anak, guru, dan orang tua itu semakin berkembang dan menyasar hingga ke wilayah-wilayah yang sangat membutuhkan seperti NTT.
Bila belum, perusahaan-perusahaan swasta atau pemerintah daerah setempat bisa berinisiatif mencari tahu hingga tak perlu segan mereplikasi apa yang sudah banyak dikerjakan Danone Indonesia dalam hal gizi dan kesehatan.
Dengan begitu, untuk mengatasi masalah stunting dan anemia misalnya, tidak harus selalu menanti uluran tangan dari luar, atau lebih parah lagi bila sampai seperti pleseten yang disematkan kepada NTT sebagai Nanti Tuhan Tolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H