Sebagian besar penduduk hidup dan bekerja di sektor pertanian, termasuk peternakan. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, industri, angkutan, jasa, dan sebagainya.
Komoditi utama yang banyak dihasilkan dan diperdagangkan adalah hasil-hasil pertanian seperti jagung, beras, umbi-umbian, kacang-kacangan, kopra, dan kopi. Selain itu sapi, kerbau, kuda, dan babi sebagai hasil peternakan. Tidak terkecuali hasil-hasil perikanan dan industri kecil.
Situasi ini kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan getir dan ironis. Mengapa di tengah situasi seperti itu NTT mendapat predikat miskin? Mengapa angka stunting dan anemia masih tinggi? Apa yang salah dengan pemanfaatan alam tersebut?
Doker Diana menyebut ada beberapa sebab anemia. Pertama, asupan makanan. Riskesdas 2018 melaporkan konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi nabati, sementara protein kurang diperhatikan. Hal ini membuat kita kerap mengalami defisit protein dan makronutrien.
Beberapa di antaranya adalah defisit zat besi, terutama besi heme dan vitamin C. Di sisi lain, konsumsi fitat dan tannin (kopi dan teh) tak terkendali.
"Zat besi heme terdapat dalam makanan yang langsung diserap tubuh," ungkap dr.Diana untuk membedakan dari non heme yang harus melewati proses agar bisa diserap dengan baik oleh tubuh.
Kedua, sakit baik infeksi atau penyakit kronis seperti kanker dan ginjal. Ketiga, pada wanita khususnya karena perdarahan, infestasi parasit, dan popiosis yang biasa terjadi pada usia 5 tahun hingga masa remaja, berlanjut sampai dewasa.
Remaja mengalami peningkatan risiko anemia karena pertumbuhan yang cepat dan peningkatan massa otot. Wanita dengan perdarahan menstruasi berat beresiko lebih besar mengalami anemia. Karena itu, remaja putri memiliki kebutuhan zat besi untuk mengimbangi kehilangan darah menstruasi dan pertumbuhan yang meningkat.
Kerja bersama
Soal stunting umumnya dan anemia khususnya adalah pekerjaan rumah bersama. Pemerintah, sebagaimana ditegaskan dr.Diana, sungguh menaruh perhatian pada soal-soal tersebut. Penekanan ini terlihat jelas pada peringatan Hari Gizi Nasional ke-61 pada 25 Januari 2021.