Selain itu, sebagai sebuah tulisan yang berisi informasi sejarah sejauh dapat menjaga presisi penulisan sebagai salah satu tanda akurasi. Konsistensi penulisan nama tempat, orang, organisasi, atau kejadian sejauh dapat divalidasi sebagai sumbangsih pengetahun sejarah berharga bagi pembaca masa kini.
Ketetapan penulisan nama awal PSSI misalnya. Apakah "Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia" atau "Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia" seperti terdapat di halaman 87, atau "Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia" seperti kita temukan di sumber referensi lain?
Inkonsistensi juga terlihat dalam penulisan nama-nama klub. Seperti terlihat di halaman 43 dan berulang di halaman 44, timbul pertanyaan, mana penulisan yang benar Romeo atau R.O.M.E.O, De Leew atau De Leeuw, Mars atau M.A.R.S? Juga apakah klub Belanda China De Roode Lie juga termasuk dalam kelompok sang pemula VVB?
Hal lain yang patut disebut adalah terkait kohesivitas dan koherensi antarbagian. Sebagai pembaca amatir saya masih mendapati penggarapan yang kurang runtut. Salah satu bagian yang cukup kentara adalah soal sejarah sepak bola. Saat penulis menggarap sepak bola oleh masyarakat Jawa kita berharap pembicaraan akan semakin fokus. Namun yang ditemukan kemudian adalah mengulang kembali kisah sejarah sepak bola.
Bila sejarah sepak bola dikupas tuntas di bagian awal, selanjutnya semakin mengerucut ke konteks masyarakat Hindia Belanda, ulasan akan menjadi lebih apik. Begitu juga pembicaraan terkait PSSI di halaman 50 ditahan sampai setelah membicarakan sejarah PSSI secara tuntas seperit di halaman 87 maka pembaca awam seperti saya akan dengan mudah mencerna setiap bagian.
Saya membayangkan demikian. Pengantar dan pendahuluan yang tidak perlu terlalu dibedakan. Sekadar berisi catatan awal dengan hanya berisi sentilan-sentilan awal dan stimulus-stimulus pembuka untuk memantik rasa ingin tahu pembaca. Ditambahkan juga pertanggungjawaban metode penelitian yang dipakai.
Selanjutnya mulai memasuki konteks historis sepak bola secara umum dan ditahan untuk tidak terburu-buru masuk ke sepak bola Hindia Belanda. Pembaca perlu dijelaskan konteks sosial-kemasyarakatan secara umum agar kemudian tidak terkaget-kaget saat harus berbicara tentang sepak bola.
Demikian juga relasi sepak bola dengan pergerakan di Hindia Belanda dari sisi politik. Apakah sama-sama menyumbang secara diametral atau saling berpisah jalan namun mengarah pada tujuan yang sama sebagaimana judul buku ini: Indonesia merdeka? Bila tidak, maka hanya pembaca yang paham sejarah yang bisa dengan mudah menangkapnya dan kemudian dengan enteng menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Terlepas dari itu, Fery sudah membantu kita untuk kembali ke akar dari mana sepak bola yang tumbuh dan hari ini seperti tidak terlihat mekar sesuai harapan. Fery sudah melanjutkan pekerjaan yang tidak banyak orang ingin ambil bagian. Apalagi ini soal sejarah yang mengandaikan ketekunan tinggu untuk mendapatkan sumber-sumber valid yang tidak mudah ditemukan.
Fery sudah memulai, kita berharap ia melanjutkan kerja positif ini dengan karya-karya yang lain tentang klub-klub tempo doeloe yang belum tersentuh atau digali sedalam-dalamnya. Pun memantik siapa saja yang berkehendak baik untuk menambah kazanah sejarah sepak bola Indonesia dengan penggarapan yang kaya.
Tampaknya, melihat seperti apa nasib sepak bola kita hari ini, bisa jadi buku yang bisa dilahap sekejap itu, tampak seperti palu godam yang menghantam segala kemewahan yang bisa kita nikmati cuma-cuma di atas jerih lelah perjuangan sulit dan pelik klub-klub dan pelaku sepak bola masa silam.