Meski peluang kaum bumiputera mendirikan klub-klub sepak bola baru tercipta kemudian, pembentukan VVB seperti membuka tembok tebal diskriminasi di satu sisi dan memantik kreativitas serupa di kota-kota lain. Indonesische Voetbal Bond Magelang terbentuk pada 1925, Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond dua tahun kemudian, dan inisiatif-inisiatif serupa di kota-kota lain.
Selanjutnya geliat klub-klub itu semakin terasa saat PSSI berdiri. Saat didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta, PSSI merupakan kependekan dari Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia. Sejak masa kepemimpinan Ir.Soeratin Sosrosegondo, VVB tidak pernah absen ambil bagian dalam berbagai kompetisi dan giat mengajak klub dari luar Hindia Belanda untuk beruji tanding.
Beberapa prestasi VVB coba dirinci di buku ini. Beberapa yang bisa disebut adalah menjadi juara kompetisi PSSI tahun 1935 yang digelar di Semarang. Prestasi itu mengangkat pamor VVB. Mereka mulai sering diikutsertakan dalam berbagai turnamen baik antarklub bumiputera, maupun dengan klub Belanda dan Tiongkok. Di samping itu, VVB juga sempat bertanding dengan Winners Sport Club dari Austria.
Geliat VVB yang tinggi kemudian membuat Sri Susuhunan Paku Buwono X rela merogoh kocek sebesar 30 ribu gulden untuk mendirikan Stadion Sriwedari. Ini merupakan stadion pertama yang dibangun dan dimiliki oleh pribumi.
Untuk ukuran saat itu, stadion yang selesai dibangun pada 1933 ini terbilang keren. Ada lintasan atletik, lampu sorot di setiap sudut, loker pemain lengkap dengan kamar mandi, serta drainase yang diatur secara baik sehingga saat musim hujan tiba stadion berbentuk oval itu tidak digenangi air.
Pembangunan stadion ini kemudian semakin meruntuhkan sekat-sekat dikotomis yang dibangun sebelum itu. Malahan, membuat kaum non pribumi kalah pamor karena tidak memiliki stadion sebagus itu. Dalam penggunaannya justru diatur agar kaum penjajah itu juga bisa ikut merasakan. Sebuah hantaman yang telak dan pembuktian yang manis!
Sejumlah catatan
Kelima, disebutkan dalam buku ini pada 13 Mei 1933, VVB berganti nama menjadi Perserikatan Sepak Raga Seloeroeh Soerakarta (Persis). Perubahan ini mengikuti anjuran PSSI untuk menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu secara tidak langsung ingin menekankan nasionalisme karena nama-nama yang dipakai jelas tak lagi mirip seperti klub-klub bentukan Belanda dan Tionghoa.
Saat pecah perang di Asia Pasifik dengan masuknya tentara Jepang, situasi sosial-politik dalam negeri pun terkena imbas. Tidak terkecuali dunia olahraga. Terhentinya sejumlah agenda kompetisi hingga keharusan PSSI bergabung dalam organisasi bentukan Jepang, Tai Iku Kai.
Selanjutnya secara repetitif penulis berbicara tentang PSSI yang sebelumnya sudah sempat disinggung. Hal ini menjadi salah satu catatan untuk buku ini. Repetisi untuk poin yang sama tidak hanya terkait PSSI, tetapi juga beberapa hal lain seperti gelar yang diraih VVB (hal 76).