Â
Ada sebuah peristiwa yang masih terbayang hingga kini. Saat itu, ketika sedang mengarungi lautan teduh di sebuah daerah wisata di timur Indonesia, salah satu anak buah kapal tanpa berpikir panjang melemparkan setumpuk sampah plastik ke laut.
Tidak hanya sejumlah wisatawan domestik, rombongan pelayaran itu juga berasal dari mancanegara. Para penumpang cukup kaget ketika dengan mata kepala sendiri melihat hal yang tak biasa itu.Â
Salah satu wisatawan asing tak hanya menunjukkan ekspresi marah. Setengah berteriak ia memaksa anak buah kapal itu untuk menceburkan diri ke laut untuk memungut kembali sampah yang dibuang.
Ini hanya sebuah kisah dari banyak cerita tentang bagaimana kita bersikap terhadap sampah. Sikap salah yang kemudian melahirkan segudang persoalan.Â
Tentu masih basah dalam ingatan kita tentang seekor paus yang ditemukan membusuk di perairan Desa Kapota, Kecamatan Wangiwangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada Senin, 19 November 2018 lalu.
Bukan hanya kematian mamalia sepanjang 9,5 meter itu yang dibicarakan. Tetapi lebih dari itu, penemuan 5,9 kilogram sampah yang mayoritas berbentuk plastik dalam hewan raksasa berjenis Sperm Wale itu.
Keprihatinan pun membuncah dari mana-mana. Tidak sedikit yang kecewa. Kita pasti tak habis pikir aneka botol, penutup galon, sandal, botol parfum, bungkus mi instan, gelas minuman, tali rafia, karung terpal, kantong kresek dan masih banyak jenis sampah lainnnya bisa sampai bersarang di lambung hewan tersebut.
Ada yang beranggapan paus itu telah mengalami disorientasi navigasi. Akibatnya, paus itu tak bisa membedakan makanan dan non-makanan.Â
Alih-alih mencari tahu sebab kematian, ada isu lain yang lebih krusial. Bisa jadi habitat paus tersebut memang telah tercemar sampah. Sampah telah merusak mata rantai dalam ekosistem kehidupannya.