Nasi merah. Telur goreng balado. Tumis selada air. Lele goreng. Ayam bakar. Irisan mentimun. Daun kemangi plus sambal merah yang diulik halus. Semuanya saling bertindihan di piring seng blek putih. Penempatan menu yang kurang proporsional membuat motif bunga dan bulan sabit yang menghiasi pinggiranan jenis piring legendaris itu separuh tertutup.
Melihat piring itu bayangan masa kecil saya berkelebat. Terkenang kala jam makan tiba. Ibu dengan sigap mengedarkan perbendaharaan piring seng blek itu kepada anggota keluarga. Piring-piring itu menjadi perkakas makan andalan keluarga kami selama bertahun-tahun.
"Semua makanan ini berasal dari usaha warga di sini," suara berat membuyarkan lamunan.
Hermawan Kristanto namanya. Pria berbaju hitam lengang panjang yang digulung hingga siku itu merupakan kepala Desa Kemudo. Wilayah administratif ini merupakan bagian dari Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Di bawah pendopo bergaya joglo, ia bercerita tentang kehidupan masyarakat setempat. Lebih dari 50 persen dari 1500 kepala keluarga berprofesi sebagai petani dan buruh pabrik. Mereka mengolah sekitar 125 hektar tanah pertanian yang 15 hektar di antaranya menjadi lokasi industri.
Selain menggunakan lahan yang ada untuk bercocok tanam, warga lokal juga memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami sejumlah jenis tanaman konsumsi seperti terong dan cabai. Tidak hanya memanfaatkan tanah kosong di sekitar rumah, masyarakat pun menjadikan tembok sebagai medium.
Sejumlah tanaman tumbuh menempel di tembok dengan bantuan penyangga kayu setinggi 30 cm. Lebih dari 20 tanaman dalam polibek hitam berukuran 10 X 15 cm menghiasi perjalanan menuju warung makan dengan desain rumah adat masyarakat Jawa itu.
Selain joglo utama dengan sejumlah kursi dan meja kayu, di sisi kanan terparkir dua gerobak yang biasa digunakan untuk menjaja aneka makanan dan minuman. Bila kapasitas pengunjung meningkat, joglo berukuran lebih kecil di sebelah kiri bisa menjadi pilihan.
Oleh masyarakat setempat, tempat melewatkan malam dengan aneka hidangan yang diracik dari hasil pertanian setempat itu dinamai Angkringan Joglo.
Ribut Soal Impor