Pencapaian para pemain Indonesia di New Zealand Open Super 300 yang baru berakhir pada Minggu, (06/05/2018) adalah hal lain yang patut dibicarakan. Meski bukan turnamen kelas atas, beberapa pemain utama Indonesia ambil bagian. Sebut saja Jonatan Christie di nomor tunggal putra, dan beberapa pemain tunggal putri yang menjadi andalan saat ini seperti Fitriani, Gregoria Mariska dan Ruselli Hartawan. Hasilnya? Indonesia pulang tanpa gelar meski meloloskan dua wakil ke final. Nir gelar kali ini sama seperti dua tur Super300 sebelumnya di Swiss dan Jerman.
Jojo, sapaan akrab Jonatan gagal menumbangkan Lin Dan. Jojo tak sanggup mengulangi kemenangan di pertemuan terakhir di China Open 2017. Saat itu Jojo menang straight sete 21-19 dan 21-16 sekaligus menipiskan skor head to head menjadi 2-3. Namun sayang di pertemuan keenam ini, pemain berperingkat 14 dunia itu justru takluk dua game langsung, 14-21 dan 19-21.
Kekalahan ini cukup disesali. Pemain berusia 20 tahun itu gagal mencapai klimaks. Ia tak sanggup menjaga konsistensi untuk mengeksploitasi kelemahan Super Dan. Meski pemain asal China itu kaya pengalaman dan mentalnya telah teruji, ia punya kelemahan yang tak bisa tidak diperdaya, yakni stamina.Â
Jojo nyaris mengunci set kedua dan memaksa rubber set saat memimpin 19-15. Dua angka ternyata begitu mahal bagi Jojo namun sangat mudah bagi Super Dan untuk dikejar. Seandainya Jojo terus mencecar mantan pemain nomor satu dunia itu dengan bola-bola panjang yang menguras energi sambil taktis mengantisipasi penempatan bolanya, bukan tidak mungkin hasil akhir akan berbeda.Â
Sayang, Jojo harus menanti tur berikutnya untuk meraih gelar juara setelah gagal di tiga partai puncak. Sebelumnya ia kalah di final Korea Super Series 2017 dari rekan sepelatnas, Anthony Ginting dan Sai Praneeth di Thailand Grand Prix Gold 2017.
Nasib serupa dialami pula finalis Indonesia lainnya, Berry Angriawan dan Hardianto. Setelah menyingkirkan unggulan empat dari Thailand, Bodin dan Nipithpon di semi final, Berry dan Hardianto gagal menggasak, Wang Chi Lin/Chen Hung Ling. Wakil Indonesia yang diunggulkan di tempat kedua ini menyarah dua game langsung, 17-21 dan 17-21 dari unggulan pertama dari Taiwan itu.
Kembali ke tunggal putri. Di turnamen yang digelar di Auckland ini, para srikandi Merah Putih tak bisa melewati para pemain China. Ruselli dihentikan Cai Yan Yan di babak pertama, menyusul Fitriani yang takluk di tangan Zhang Yiman di babak kedua. Sedikit lebih baik, Gregoria Mariska melangkah hingga delapan besar, namun akhirnya gagal ke semi final setelah ditekuk Han Yue.Â
Mirisnya, para pemain andalan Indonesia di Piala Uber pada akhir Mei ini menyerah dari para pemain China non unggulan. Mereka bukan para pemain utama, melainkan masih lapis kesekian. Di atas mereka masih ada He Bingjiao, Chen Yufei, Xiaoxin, Fangjie, Sun Yu, Xuefei, dan Shiyi. Meski para pemain utama Negeri Tirai Bambu ini masih kalah bersaing di jajaran elite, setidaknya mereka telah membentuk rantai regenerasi yang baik.Â
China setelah masa keemasan Wang Shixian dan kawan-kawan sempat mengalami kevakuman, namun kini perlahan lahan mereka mulai mendapatkan para penerus, termasuk Zhang Yiman, yang menyisihkan Fitriani dan terus melangkah hingga final meski akhirnya kandas di hadapan unggulan satu asal Jepang, Sayaka Takahashi di partai final New Zealand Open kali ini. Zhang, kelahiran 1997, tidak hanya "menjual" kecantikannya, tetapi juga skill yang meyakinkan. Cepat atau lambat, China akan kembali meramaikan persaingan di puncak ranking dunia.
Sementara Indonesia masih terus berkutat dengan persoalan turun temurun. Kini kita hanya punya empat andalan yang terlanjur dipaksakan untuk pentas di level senior karena kita alpa menjaga rantai regenerasi. Sementara itu empat pemain tersebut belum juga mendapatkan konsistensi di titik kritis yakni fase transisi. Mengapa? Prestasi di kelas junior tidak menjamin kesuksesan di level senior. Butuh perjuangan yang jauh lebih keras di level atas. Bila tidak kita akan terus terjebak di sana.