Kabar gembira terus memeluk bulu tangkis Indonesia. Setelah tak pernah absen menyumbang gelar dari empat World Tour Super (WTS) di awal tahun sejak Thailand S300 hingga India S500, Indonesia kembali berjaya di kejuaraan beregu bernama Badminton Asia Team Championships 2018 yang baru saja berakhir di Stadium Sultan Abdul Halim, Alor Setar, Kedah, Malaysia, Minggu (11/02/2018). Tim putra Indonesia sukses mempertahankan gelar yang direbut dua tahun lalu di Hyderabad, India. Bila saat itu Indonesia menyingkirkan Jepang di partai pamungkas dengan skor 3-2, kali ini giliran China yang ditekuk dengan skor 3-1.
Baik Indonesia maupun China tidak turun dengan para pemain terbaik. Negeri Tirai Bambu memberikan kepercayaan kepada para pemain muda. Para senior seperti Chen Long dan Zhang Nan diistirahatkan. Sementara Indonesia tidak diperkuat ganda putra nomor satu dunia, Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo. Cedera perut yang dialami Marcus, membuat tim pelatih harus memutar otak untuk mendapat racikan baru di ganda putra. Alhasil dua pemain senior, Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan dijadikan tumpuan untuk membimbing Angga Pratama dan Rian Agung Saputro.
Di partai final hari ini Mohamad Ahsan bertandem dengan Angga Pratama sebagai ganda pertama yang turun di partai kedua. Sementara Hendra berpasangan dengan Rian Agung sebagai ganda kedua di parai keempat. Sementara di sektor tunggal, Jonatan Christie tampil pertama, selanjutnya Anthoni Ginting diplot sebagai tunggal kedua di partai ketiga, dan Firman Abdul Kholik sebagai tunggal ketiga.
Jojo, sapaan Jonatan sukses membuka keunggulan Indonesia. Pemain berusia 20 tahun itu mengandaskan perlawanan Shi Yuqi dalam pertarungan rubber set dengan skor akhir 16-21, 21-17 dan 21-18. Ahdan dan Angga berhasil menggandakan keunggulan Indonesia usai menjungkalkan He Hiting dan Tan Qiang dua game langsung, 21-19 dan 21-18.
Ginting yang baru saja meraih gelar juara Indonesia Masters S500 gagal mengunci kemenangan. Pemain berperingkat sembilan dunia menyerah dari Qiao Bin. Sempat bangkit di gim kedua, Ginting harus memberikan satu poin kepada China usai kalah di set penentu, 12-21 21-11 dan 14-21.
Kemenangan yang tertunda ini akhirnya dituntaskan Hendra Setiawan dan Rian Agung. Pasangan berbeda generasi ini menang straight set 21-14 21-19 atas Han Chengkai/Zhou Haodong. Kemenangan ini lantas disambung sorak sorai oleh kubu Indonesia dan sedikit pendukung yang datang memberikan dukungan.
Di tengah sepi euforia, sangat bertolak belakang tentunya bila event ini digelar di tanah air, Indonesia kembali menginjakkan kaki di podium tertinggi turnamen yang juga diikhtiarkan sebagai kualifikasi untuk kejuaraan beregu bergengsi Piala Thomas dan Piala Uber tersebut.
Menarik melihat sepak terjang Indonesia di turnamen dua tahunan kali ini. Utak atik komposisi dan formasi menjadi salah satu kunci yang membuat Indonesia mampu melangkah hingga ke partai puncak. Dua tahun lalu Jojo ditempatkan sebagai tunggal ketiga dan ia sukses meraih kemenangan atas Kenta Nishimoto untuk mempersembahkan gelar bagi Indonesia.
Kali ini posisi tersebut ditempati Firman yang sebelumnya hampir selalu luput dari perhatian. Dibanding trio Jonatan, Ginting dan Ihsan Maulana, pemain berusia 20 tahun itu mengalami perkembangan sedikit lebih lambat. Belakangan Jojo dan Ginting mulai meninggalkan Ihsan. Namun Firman berhasil mengubah pesimisme tersebut. Puncak pembuktian pemain kelahiran Kota Banjar, 11 Agustus 1997 itu terjadi di semi final.
Firman menjadi pahlawan saat menyingkirkan Korea Selatan secara dramatis di babak semi final. Tampil perdana, mengemban tugas yang tidak ringan, namun ia berhasil menyaput segala cemas, ragu bahkan "bully" yang selama ini diperoleh. Ia berubah menjadi "hero" usai membungkam Lee Dong Keun 22-20, 11-21 dan 22-20. Set penentu Firman sempat tertinggal dalam kedudukan 13-7. Perlahan-lahan ia mengejar ketertinggalan hingga memaksa kedudukan 13-13. Sempat memimpin satu angka, Firman kembali tertinggal enam angka saat lawannya mengunci game poin. Layaknya seorang pahlawan, Firman berhasil membuat sesuatu yang nyaris tidak mungkin menjadi mungkin. Ia memaksa "deuce" sebelum meraih poin kemenangan yang sempat diwarnai aksi protes keras dari Dong Keun dan kubu Korea Selatan.
Heroisme dan status kepahlawanan Firman menyata saat itu. Segala anggapan miring berubah seketika. Meski tak sempat tampil dan membuktikan sekali lagi di partai puncak, pencapaiannya di semi final sudah lebih dari cukup untuk memberikan sanjungan kepadanya. Ia tak perlu tampil sekali lagi, karena tiga poin kemenangan sudah disegel lebih dulu, untuk mendapatkan kesempatan mengangkat trofi kejuaraan yang diperebutkan oleh 15 tim putra itu.