Praktis setelah Li Xuerui didiagnosis cedera robek anterior ligamentum cruciatum (ACL) di semi final Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang mengharuskan menepi hingga enam bulan, kekuatan tunggal putri China seketika melemah. Sebelumnya bersama Wang Yihan dan Wang Shixian, ketiganya seperti membentuk tembok raksasa yang sulit ditembus para pebulutangkis lain untuk merebut posisi puncak baik di rangking dunia maupun turnamen bergengsi.
Li harus berjuang mengatasi rasa sakit pada lututnya saat berhadapan dengan Carolina Marin asal Spanyol untuk merebut tiket final. Kamera sempat menyorot pemain yang pada Januari lalu berulangtahun ke-26 terduduk di lapangan dengan kaki terjulur sementara paramedis berusaha memberi pertolongan. Namun rasa sakit itu tak bisa diakrabi karena ia harus merelakan medali perunggu kepada pemain muda Jepang Nozomi Okuhara, dan setelah penutupan event empat tahunan itu langsung diterbangkan ke Jerman untuk menjalani operasi.
Tunggal putri China tak pernah semalang itu setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Dengan kata lain, setelah Olimpiade Atalanta 1996, Negeri Tirai Bambu mampu menjaga kejayaannya di panggung Olimpiade. Pada edisi sebelum itu di London, nomor ini malah menghadirkan final sesama pemain China, untuk melengkapi 5 medali emas, 2 medali perak dan 1 medali perunggu dari seluruh nomor.
Kekalahan atas Marin yang kemudian membawa pulang medali emas pertama bagi negaranya dari cabang tepok bulu ini membuat Li harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk menyelamatkan wajah China sekaligus catatan positifnya arena Olimpiade. Seakan berbanding terbalik, di London sebelumnya ia tersenyum gembira setelah merebut medali emas dari tangan rekan senegaranya Wang Yihan.
Namun setelah cedera mendera, berikut mundurnya duo Wang, bulu tangkis China benar-benar dihadapkan pada tantangan serius. Sebagai gantinya tiga pemain muda, Marin, Ratchanok Intanon asal Thailand dan Tai Tzu-ying asal Taiwan bergantian menguasai posisi teratas. Kini formasi peringkat dua mengalami perubahan, namun tidak ada pemain China di lingkaran lima besar dunia.
Sung Ji Hyun (Korea Selatan) menempel Tai di posisi puncak, diikuti Akane Yamaguchi (Jepang) yang menyalip Marin di posisi empat serta Pusarla V.Sindhu dari India melengkapi lima pemain teratas.
Dunia boleh saja menilai bahwa peta persaingan tunggal putri dunia semakin merata sebagai penghiburan bagi kemunduran bulu tangkis China. Namun tidak bagi Yihan. Pemain yang turut mengguncang dunia dengan gelombang pensiun para pebulutangkis top China seperti Wang Shixian, Zhao Yunlei, Tian Qing, Yu Yang dan Ma Jin setelah Olimpiade seperti membuka jalan bagi kekuatan baru bulu tangkis negaranya.
Di samping pemain 23 tahun itu, ada He Bingjiao yang mulai melangkah dari posisi sembilan dunia di usia yang ke-20. Sebelumnya Bingjiao sukses memenangkan dua gelar Superseries dari empat kesempatan tampil di final saat belum berkepala dua. Pemain yang lebih muda dua tahun dari Bingjiao bernama Chen Yufei pun sudah siap-siap merangsek dari rangking 13 dunia. Chen adalah juara dunia junior, pernah mengalahkan Ratchanok Intanon dan sukses menjuarai Macau Open.
Dengan materi pebulutangkis yang ada, dan tentu saja bukan China namanya bila tidak terus menyiapkan rantai regenerasi, prospek kebangkitan seperti diramalkan Yihan tingggal menunggu waktu, atau bahkan sejatinya sedang terjadi sekarang.
“Kami sedang melewati masa ini, tetapi tandai kata-kata saya..China akan bangkit lagi,”ungkap juara dunia 2011 itu seperti dilansir The Associated Press.