Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Bedanya China dan Indonesia Mengelola Pebulutangkis Putri

28 Maret 2017   22:37 Diperbarui: 29 Maret 2017   17:00 4492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
He Bingjiao salah satu tunggal putri masa depan China/bwfbadminton.com

Praktis setelah Li Xuerui didiagnosis cedera robek anterior ligamentum cruciatum (ACL) di semi final Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang mengharuskan menepi hingga enam bulan, kekuatan tunggal putri China seketika melemah. Sebelumnya bersama Wang Yihan dan Wang Shixian, ketiganya seperti membentuk tembok raksasa yang sulit ditembus para pebulutangkis lain untuk merebut posisi puncak baik di rangking dunia maupun turnamen bergengsi.

Li  harus berjuang mengatasi rasa sakit pada lututnya saat berhadapan dengan Carolina Marin asal Spanyol untuk merebut tiket final. Kamera sempat menyorot pemain yang pada Januari lalu berulangtahun ke-26 terduduk di lapangan dengan kaki terjulur sementara paramedis berusaha memberi pertolongan. Namun rasa sakit itu tak bisa diakrabi karena ia harus merelakan medali  perunggu kepada pemain muda Jepang Nozomi Okuhara, dan setelah penutupan event empat tahunan itu langsung diterbangkan ke Jerman untuk menjalani operasi.

Tunggal  putri China tak pernah semalang itu setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Dengan kata lain, setelah Olimpiade Atalanta 1996, Negeri Tirai Bambu mampu menjaga kejayaannya di panggung Olimpiade. Pada edisi sebelum itu di London, nomor ini malah menghadirkan final sesama pemain China, untuk melengkapi 5 medali emas, 2 medali perak dan 1 medali perunggu dari seluruh nomor.

Kekalahan atas Marin yang kemudian membawa pulang medali emas pertama bagi negaranya dari cabang tepok bulu ini membuat Li harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk menyelamatkan wajah China sekaligus catatan positifnya arena Olimpiade. Seakan berbanding terbalik, di London sebelumnya ia tersenyum gembira setelah merebut medali emas dari tangan rekan senegaranya Wang Yihan.

Namun setelah cedera mendera, berikut mundurnya duo Wang, bulu tangkis China benar-benar dihadapkan pada tantangan serius. Sebagai gantinya tiga pemain muda, Marin, Ratchanok Intanon asal Thailand dan Tai Tzu-ying asal Taiwan bergantian menguasai posisi teratas. Kini formasi peringkat dua mengalami perubahan, namun tidak ada pemain China di lingkaran lima besar dunia.

 Sung Ji Hyun (Korea Selatan) menempel Tai di posisi puncak, diikuti Akane Yamaguchi (Jepang) yang menyalip Marin di posisi empat serta Pusarla V.Sindhu dari India melengkapi lima pemain teratas.

Dunia boleh saja menilai bahwa peta persaingan tunggal putri dunia semakin merata sebagai penghiburan bagi kemunduran bulu tangkis China. Namun tidak bagi Yihan. Pemain yang turut mengguncang dunia dengan gelombang pensiun para pebulutangkis top China seperti Wang Shixian, Zhao Yunlei, Tian Qing, Yu Yang dan Ma Jin setelah Olimpiade seperti membuka jalan bagi kekuatan baru bulu tangkis negaranya.

Li Xuerui usai dikalahkan Carolina Marin di semi final Olimpiade Rio 2016/south china morning post
Li Xuerui usai dikalahkan Carolina Marin di semi final Olimpiade Rio 2016/south china morning post
Saat Li menepi, China sudah menyiapkan pelapis yang kemudian seperti dibukakan jalan untuk segera kembali merebut kejayaan yang sempat hilang. Saat ini negara di Asia Timur itu sudah memiliki Sun Yu yang pernah berada di peringat empat dan akan terus mengganggu lima pebulutangkis teratas.

Di samping pemain 23 tahun itu, ada He Bingjiao yang mulai melangkah dari posisi sembilan dunia di usia yang ke-20. Sebelumnya Bingjiao sukses memenangkan dua gelar Superseries dari empat kesempatan tampil di final saat belum berkepala dua. Pemain yang lebih muda dua tahun dari Bingjiao bernama Chen Yufei pun sudah siap-siap merangsek dari rangking 13 dunia. Chen adalah juara dunia junior, pernah mengalahkan Ratchanok Intanon dan sukses menjuarai Macau Open.

Dengan materi pebulutangkis yang ada, dan tentu saja bukan China namanya bila tidak terus menyiapkan rantai regenerasi, prospek kebangkitan seperti diramalkan Yihan tingggal menunggu waktu, atau bahkan sejatinya sedang terjadi sekarang.

“Kami sedang melewati masa ini, tetapi tandai kata-kata saya..China akan bangkit lagi,”ungkap juara dunia 2011 itu seperti dilansir The Associated Press.

Keyakinan Yihan mencuat dari kemampuan para penerusnya yang terlihat dari prestasi yang telah ditorehkan. Menurut wanita berparas cantik ini, para juniornya itu memiliki berkemampuan lebih baik dibanding generasinya di usia seperti mereka.

Wanita yang konon pernah merasakan sengatan nyamuk Jakarta itu meminta dunia bersabar untuk melihat para pemain itu mengambil tempat yang pernah ditinggalkan generasinya. “Beri mereka waktu dan merekaakan segera berada di antara para pemain terbaik dunia.”

He Bingjiao salah satu tunggal putri masa depan China/bwfbadminton.com
He Bingjiao salah satu tunggal putri masa depan China/bwfbadminton.com
Indonesia?

Saat asyik mengurai perjuangan bulu tangkis China kembali ke panggung dunia mencuat pertanyaan, bagaimana bulu tangkis Indonesia? Bukankah sekarang saat yang tepat untuk berpacu merebut podium kejayaan?

Saat kesempatan itu datang, persoalan sesungguhnya justru mengisi ruang harapan tersebut. Perbedaan antara kita dan mereka jelas menyata. Saat China kehilangan pemain karena cedera atau pensiun, mereka hanya membutuhkan sedikit waktu untuk kembali berjaya. Bagi China kehilangan gelar atau rangking dunia hanya persoalan waktu yang akan segera diatasi oleh pemain lainnya.

Sampai di sini konklusi cukup jelas: regenerasi bulu tangkis China berjalan baik. Rantai prestasi tetap bisa terjaga meski kadang sedikit renggang karena kemampuan mereka menjaga pasokan pemain yang mengisi setiap titik usia atau jenjang.

Tunggal putri Indonesia persis bertolak belakang dengan China. Setelah Bellaetrix Manuputty harus naik meja operasi yang membuatnya kemudian memilih gantung raket, lantas disusul Linda Wenifanetri yang tiba-tiba mengambil keputusan pensiun setelah hasil buruk di Olimpiade Rio, seketika tercipta jurang antargenerasi yang lebar di sektor tunggal putri. Bella dan Linda meninggalkan para pemain muda yang belum disiapkan secara baik, untuk mengatakan dipaksakan mengambil tempat dan peran para pemain senior.

Saat ini para pemain seperti Fitriani Fitriani, Hanna Ramadini, Dinar Dyah Ayustine dan Gregoria Mariska harus melewati gemblengan tanpa para  senior yang bisa dijadikan tempat belajar dan sandaran berbagi. Mereka ibaratnya buah yang dipaksa agar lekas matang. Sulit membayangkan besarnya tekanan dan beban yang harus mereka pikul di usia seperti itu. Meski prestasi tidak mengenal usia tetapi konteks bulu tangkis Indonesia tidak bisa tidak menempatkan mereka dalam situasi sulit, sama sulitnya seperti menyambung kembali rantai regenerasi yang sedang terputus. Kini mereka sedang mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain dari luar lingkaran 27 besar dunia.

Meski semangat regenerasi digaungkan lekat-lekat terhadap sektor putri yang mandek prestasi selama bertahun-tahun lamanya tetap saja tidak gampang mewujudkannya, jika tidak ingin dikatakan tidak disiapkan secara baik. Putusnya rantai regenerasi yang dialami saat ini membawa kita pada kenangan beberapa tahun lalu saat Mia Audina mengambil keputusan mengikuti suaminya ke Belanda. Kita sepertinya alpa atau terlalu berat belajar dari sejarah masa lalu, juga contoh baik dari negara-negara tetangga.

Tidak adil memang menyodorkan masalah ini secara utuh ke laci persoalan PBSI karena bisa jadi bulu tangkis Indonesia memang sedang kekurangan bibit pemain wanita. Dalam setiap kesempatan audisi prosentase atlet wanita selalu kalah jauh dari atlet pria. Entah mengapa bulu tangkis tak lagi menarik bagi para remaja putri atau orang tua padahal saat ini jaminan hidup-yang kerap dikeluhkan sebelumnya-sudah lebih menjanjikan dengan sistem sponsor dan apresiasi yang jauh lebih baik.

Namun menyebut minimnya bibit sebagai satu-satunya alasan, apalagi sebagai sebab utama, terlalu simpilstis  atau menyederhanakan persoalan. Malah mengantar kita pada ironi bahwa dari rahim sebuah bangsa besar yang dihidupkan oleh darah  dan sejarah bulu tangkis sulit sekali melahirkan bibit-bibit pebulutangkis. Padahal anak-anak yang sudah dilahirkan dengan mayoritas berusia muda dari total sekitar 240-an juta jiwa itu lebih dari cukup untuk mendapatkan para pemain potensial.

Dari dua pengalaman, pada masa Mia dan saat ini, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem regenerasi bulu tangkis putri Indonesia.  Indonesia telah dikaruniai sumber daya manusia melimpah dan ibu pertiwi dalam segala kesakitannya sudah melahirkan banyak potensi tinggal saja bagaimana kita meniru China untuk menenun rantai potensi itu dari generasi ke generasi.

Pendudukk China memang berkali-kali lipat lebih banyak dari Indonesia. Tetapi sebagai negara besar yang sedang mengejar Amerika Serikat tentu banyak tawaran menarik untuk penduduknya yang lebih dari 1,3 miliar jiwa itu. Saya belum mendapatkan informasi yang cukup bagaimana China menggoda generasi mudanya untuk lebih memilih bulu tangkis ketimbang meniti karier di bidang lain. Sepertinya ini jadi salah satu alasan mengapa  pepatah lawas menimba ilmu hingga ke Negeri China selalu baru untuk bulu tangkis Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun