Laporan tahunan Komnas Perempuan pada 2017, seperti dilansir Kompas.com, mencatat. Ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Terbanyak dari antaranya kekerasan dalam keluarga. Pengadilan Agama melaporkan ada 245.548 kasus terhadap istri yang berakhir perceraian. Selain di ranah privat atau domestik, urutan kedua ditempati kekerasan di tingkat komunitas dengan 3.092 kasus. Sisanya di ranah negara sebanyak 305 kasus.
Dengan mengabaikan kemungkinan ada yang luput dihitung, apa yang bisa kita katakan dari data tersebut? Pastinya, statistik  itu berbicara banyak hal. Kaum perempuan di negeri ini belum dipandang setara dengan kaum pria. Sepak terjang mereka, mulai dari ranah privat hingga ruang publik bernegara, belum terbebas dari perlakuan diskriminatif dan subordinatif.
Konstruksi patriarkat, bahkan misogini masih kuat  dalam alam bawah sadar dan termanifestasi yata dalam perilaku sehari-hari. Dimulai dari ruang lingkup paling kecil seperti keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakat  menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua masih menjadi pemandangan umum.
Boleh saja ada yang berdalih bahwa data dan kesimpulan di atas terlalu mengada-ada. Tidak semua wanita diperlakukan tidak adil, apalagi menjadi objek kekuasaan pria. Banyak wanita sudah diperlakukan selayaknya, malah ada yang mampu berdiri lebih tinggi dari kaum pria dalam berbagai jabatan strategis baik yang bersifat administratif maupun politis, bahkan hingga dalam ruang lingkup negara sekalipun. Sudah ada perempuan yang menjadi pejabat eksekutif di perusahaan-perusahaan ternama, tokoh penting di lembaga-lembaga utama, bahkan ada yang menjadi menteri, hingga presiden. Â
Tetapi berapa banyak wanita yang bernasib baik seperti itu? Prosentase wanita sukses dan populer tak sebanding dengan kaum pria, Â atau hanya sebagian kecil dari kaumnya, bukan? Paparan di atas menjadi bukti bahwa kecemasan akan realitas dikotomis itu masih bercokol.
Bila kita masih sangsi dengan data tersebut kenyataan sehari-hari bisa menjadi bukti. Masih jamak ditemukan prasangka, pelabelan dan stereotip atau penyosokan terhadap perempuan yang kemudian menjustifikasi kekerasan baik fisik maupun verbal (catcalling), baik di dunia nyata maupun di jagad maya, mulai dari keluarga, hingga ruang publik.
Selain kekerasan suami terhadap istri, bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap wanita dalam dunia keseharian mengemuka. Â Bentuk pelecehan terhadap wanita yang biasa terjadi di antaranya terhadap busana yang dipakai hingga perlakuan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan kerap disalahkan karena dianggap berpakaian terbuka sehingga memancing hasrat untuk dilecehkan. Begitu juga penyosokan terhadap perempuan oleh aparat penegak hukum yang menyata dalam pertanyaan seputar warna pakaian, dan jenis pakaian yang dikenakan.
Apakah bila wanita berpakaian tertutup otomatis terbebas dari aneka perlakuan tak pantas? Tentu saja tidak. Sejak masa purba yang membagi perempuan dan laki-laki dalam peran oposisional antara berburu dan mengurus anak hingga kini masih bertahan. Diawetkan entah secara sadar dan sengaja atau tidak dalam pranata-pranata masyarakat baik sosial, politik, budaya hingga agama sekalipun.
 Perempuan  masih dikerangkeng dengan peran-peran tertentu. Yang paling kentara adalah domestikasi dengan pekerjaan rumah tangga dan peran pengasuhan anak, meski ada peran dan fungsi yang terberi dan tak tergantikan.