Saat ibu kota negara sedang diterpa ketegangan jelang pemilihan gubernur dan wakilnya, nun di Sleman, Yogyakarta euforia para penggemar sepak bola pecah. Seisi Stadion Maguwoharjo larut dalam sukacita, berpesta untuk dimulainya pesta bola Piala Presiden 2017. Tak ketinggalan penggemar lainnya di seantero Nusantara juga menyambut pagelaran ini dengan sukacita.
Bila tidak ada hajatan yang bisa melahirkan kegembiraan, sepak bola adalah salah satu pelarian yang pas. Sebagai bangsa yang terlahir dan berdiri di atas kebhinekaan, sepak bolalah yang mempersatukan. Meski kadang terselip cekcok dan rusuh ke dalam, ketika nama Indonesia disebut, semua serentak berdiri dan duduk mendukung.
Belum ada hal yang benar-benar membuat serba perbedaan itu melebur, selain olahraga. Dan salah satunya adalah sepak bola, cabang paling populer yang sudah lama menjadi bagian dari keseharian orang-orang di kampung-kampung, di dusun-dusun, dan di kota-kota.
Selain mendatangkan hiburan, bisa dipastikan sepak bolalah yang membuat kita benar-benar menjadi diri sendiri. Ekspresi sukacita, ketegangan, hingga raut kesedihan hampir tak bisa ditutupi. Tidak ada kepalsuan, yang ada hanyalah kejujuran dan ekspresi diri yang otentik. Coba ingat tingkat penonton sepak bola saat pertandingan berlangsung? Histeria meluncur spontan, apa adanya tanpa kemunafikan dan kepura-puraan.
Hal ini pula yang dirasakan Presiden Joko Widodo saat membuka turnamen edisi kedua itu pada Sabtu (4/2) petang kemarin. Demi turnamen yang kali ini dioperatori sendiri oleh PSSI, berbeda dengan edisi pertama dua tahun silam di tangan Mahaka Sport, panitia rela membobol pagar agar sang presiden bisa masuk lapangan untuk melakukan tendangan pertama.
Melalui pintu khusus, Jokowi berjalan dari tribun VVIP menuju lapangan. Didampingi Ketua Umum PSSI, Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Ketua Panitia Pengarah Piala Presiden II, Maruar Sirait, dan Ketua Panitia Pengarah Piala Presiden, Iwan Budianto, Presiden dengan percaya diri berlari ke tengah lapangan menjangkau si kulit bundar.
Gerak lari dan teknik menendang Jokowi jauh dari kemampuan seorang pesepak bola. Malah terlihat kocak. Apalagi seragam yang dikenakan sama sekali tak mendukung. Berbaju putih, bercelana panjang hitam, dan bersepatu phantofel. Berlari-lari kecil dari sudut lapangan, dengan sekali ayun, bola pun meluncur deras ke bidang sasaran yang bisa jadi tak diperkirakannya sebelumnya.
Orang nomor satu di republik ini pun tersenyum lebar. Ada kepuasan, bukan karena telah sukses mengeksekusi bola dengan selamat. Tetapi lebih pada ekspresi gembira karena sepakannya itu menandai dimulainya pesta kegembiraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Turnamen ini tentu tak bisa menampung sebanyak-banyaknya klub. Waktu penyelenggaraan terbatas karena lebih dimaksudkan sebagai pengisi kekosongan sekaligus pemanasan jelang bergulirnya kompetisi resmi yang bakal melibatkan lebih banyak klub. Sulit membayangkan turnamen yang akan berakhir pada 12 Maret nanti harus mengakomodasi semua klub.
Namun, sistem zonasi yang dipakai di turnamen ini tidak hanya memudahkan kerja panitia dan mobilitas peserta, juga sedikit banyak memperluas ekspansi hingga ke luar Pulau Jawa. Setiap grup sudah pasti melakoni fase grup di satu venue, selain di Sleman (grup 1), Malang (grup 2), Bandung (grup 3) dan Madura (grup 5), satu grup lagi tampil di Gianyar, Bali (grup 4). Â