Piala AFF sepertinya menjadi pengecualian dari banyak turnamen internasional yang memakai format dua kali final. Bila mengikuti format umum seperti Piala Eropa atau Piala Dunia sekalipun maka timnas Indonesia sudah berpesta di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/12) lalu.
Turnamen yang mulai digulir pertama kali pada 1996 dengan nama Piala Tiger itu mulai menggunakan sistem final kandang-tandang pada 2002. Saat itu Indonesia dan Thailand bertemu di final untuk kali kedua seperti dua tahun sebelum itu. Untuk kali kedua pula “Garuda” bertekuk lutut di hadapan “Gajah Perang.” Bila pada pertemuan perdana pada tahun 2000 Indonesia menyerah dengan skor 1-4, di laga itu Merah Putih terkulai setelah melalui drama adu penalti usai bermain seri 2-2 di laga pertama.
Tahun ini untuk kelima kalinya, plus 2004 dan 2010, Indonesia menjadi juara “runner-up.” Kemenangan tipis 2-1 belum cukup bagi Boaz Solossa dan kolega mengklaim trofi yang pernah bernama AFF Championship itu. Persis bertolak belakang dengan Indonesia, Thailand pun berpesta untuk kelima kalinya setelah sebelumnya di tahun 1996, 2000, 2002, dan dua edisi terakhir.
Tampil di hadapan pendukung sendiri, Teerasil Dangda cum suis berhasil membalikkan keadaan. Dua kali Kurnia Meiga memungut bola dari gawangnya dan hingga peluit panjang dibunyikan Mohamed Abdulla Hassan Mohd dari Uni Emirat Arab, Indonesia gagal mencetak satu gol untuk memperpanjang nafas harapan. Sepasang gol Siroch Chatthong di menit ke-37 dan 47 mengantar Thailand ke podium juara dengan keunggulan agregat 3-2.
Stadion Rajamangala, Sabtu (17/12) malam WIB pun menjadi panggung kedigdayaan Thailand. Para pemain Indonesia tidak bisa berbuat banyak selain angkat topi kepada armada Kiatisuk Senamuang untuk quintrick Piala AFF itu.
Kekalahan Indonesia ini sepatutnya tidak perlu terlalu didramatisir. Di satu sisi Thailand patut menuai apa yang mereka tabur melalui pembinaan sepak bola yang terukur dan terencana. Melihat performa Thailand dalam satu dekade hampir tidak ada yang bisa menyaingi selain Vietnam yang juga sama-sama berpacu maju.
Di sisi lain, pencapaian Indonesia ini sudah melebihi target dan melampaui ekspektasi banyak pihak, untuk tidak mengatakan mengagetkan banyak orang. Dengan persiapan yang minim, bermodal empat laga uji coba, Indonesia mampu menggasak tim-tim dengan persiapan yang lebih matang seperti Vietnam di babak semi final.
Bisa saja lolosnya Indonesia ke babak final tak lepas dari campur tangan Dewi Fortuna yang menyata di babak semi final. Namun kita tidak bisa menafikan begitu saja perjuangan Boaz dan teman-teman yang dalam keterbatasan waktu persiapan mampu membentuk tim yang disegani.
Patut diakui Indonesia terjun ke ajang dua tahunan ini dalam situasi yang benar-benar tak mendukung. Abnormal, bisa jadi. Baru bangun dari mati suri setelah kompetisi terhenti selama satu tahun, timnas langsung diterjunkan ke Filipina dan Myanmar.
Bagaimana bisa membentuk tim yang solid dalam rentang waktu tak lebih dari empat bulan? Bagaimana membangun soliditas dan kerja sama antarpemain yang selama 12 bulan “menganggur”? Dengan hanya bermodalkan dua sampai tiga pemain yang tetap aktif bermain lantaran berkiprah di mancanegara, nyaris mustahil mengimbangi tim sekelas Thailand yang telah lama dibangun dengan jenjang persiapan yang matang dan terukur.