Berbicara tentang restorasi film Tiga Dara-film kedua setelah Lewat Djam Malam (beredar tahun 1954), karya begawan film Usmar Ismail (1921-1971), setidaknya ada tiga unsur penting yang perlu dikedepankan. Mengingat ini merupakan film lawas, maka urgensi film tersebut diangkat perlu dikuak. Setelah diangkat, restorasi sebagai proyek baru dan langka dalam dunia film tanah air-untuk mengatakan belum banyak terjadi-perlu diperbincangkan lebih jauh.
Tak ketinggalan tokoh-tokoh penting yang terlibat baik dalam pembutan hingga pemugaran kembali film klasik itu patut disebut. Dalam tulisan ini saya membicarakan ketiga hal tersebut secara lebih cair tanpa urutan kepentingan, mengingat semua unsur tersebut sama pentingnya.
Mengapa Tiga Dara?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama mengikuti alur pertimbangan para pihak sebagai pengambil keputusan restorasi tersebut. Dalam hal ini adalah PT Render Digital Indonesia dan SA Films. Kemungkinan lain, dengan melihat relevansi film tersebut untuk konteks saat ini.
Dalam korespondensi melalui surel dengan Michael Ratnadwijanti dari pihak SA Films pada pertengahan Agustus lalu, saya mendapat sejumlah jawaban. Menurut Michael gagasan restorasi film tersebut sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum film film Usmar Ismail lainnya, Lewat Djam Malamdirestorasi oleh pemerintah Singapura melalui National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation pada 2011-2012 lalu.
Adalah tuan Orlow Seunke, seorang warga Belanda yang sudah lama menetap di tanah air, yang secara aktif mencari dana untuk proyek restorasi itu. Pemerintah Belanda melalui melalui EYE Museum di Amsterdam mengutarakan kesediaan untuk menjadi sponsor utama. Namun, proyek tersebut terhenti tak lama berselang saat badai ekonomi menerpa Eropa pada 2011. Sementara reel film tersebut pun mendekam di museum tersebut.
Reel film tak bisa terus dibiarkan begitu saja mengingat "kanker" vinegar syndrome (sindrom asam cuka yang sering terjadi di negara tropis menghadirkan kristal-kristal debu berbahaya dan jamursehingga membuat pita seluloid menyusut dan melar) sudah semakin menggerogoti tubuh fisiknya. Sementara dari pihak EYE Museum tak juga memberi kepastian tentang nasib proyek tersebut.
“SA Films melakukan pembicaraan dengan EYE Museum, Sinematek Indonesia, dan keluarga Usmar Ismail, untuk melihat kemungkinan mengambil alih proses restorasi,”tutur Michael.
Kesepakatan akhirnya dicapai, SA Films akan mengambil alih proses restorasi bila pihak EYE Museum tak jua berhasil memberikan kepastian terutama kepastian dana hingga akhir Desember 2012.
“Disamping itu, SA Films juga diminta untuk menjamin bahwa proses restorasi dapat berjalan dengan baik, termasuk masalah pendanaannya.”lanjutnya.
Akhirnya tiga bulan setelah tenggat waktu kesepakatan, tepatnya pada Maret 2013, SA Films pun mendapat amanah untuk menjalankan proses penting itu. Segala urusan administrafif pun dilengkapi mulai dari perjanjian kerja sama dengan keluarga Usmar Ismail, pengurusan pengembalian reel film ke Jakarta, penysunan rencana kerja restorasi, pendanaan, kegiatan restorasi hingga analisis awal di Jakarta pun dibereskan satu-satu.