Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengawetkan Kebhinekaan dengan Literasi Sosial Media

29 Agustus 2016   15:43 Diperbarui: 29 Agustus 2016   18:05 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengguna facebook di Indonesia terbanyak berusia 13-19 tahun/data dan gambar dari www.smartbisnis.co.id.

Kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 dan 30 Juli lalu benar-benar merobek kebhinekaan kita. Kerukunan yang telah terpelihara dan berusaha di jaga di tempat itu sirna seketika. Ironisnya, aksi anarki sekelompok orang yang merusak rumah ibadat umat agama Buddha dan Konghucu di tempat itu diletup oleh provokasi yang dilakukan orang tak bertanggung jawab melalui sosial media.

Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian seperti dilaporkan Kompas.com,Kamis 4 Agustus 2016, mengaku chaostersebut sebenarnya adalah persoalan individu. Ada yang merasa terganggu dengan suara adzan lantas melakukan protes.

Kita tentu menyayangkan si pemrotes suara adzan itu yang terkesan antipati terhadap ritus keagamaan yang lumrah. Sebagai orang yang sudah lama berdiam di daerah majemuk itu, suara adzan bukan lagi hal baru, atau sesuatu yang patut dipertanyakan.

Itulah bagian dari laku keagamaan yang patut dihormati. Dari pengakuan Kapolri kita akhirnya mafhum bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan kepribadian si pemrotes itu seperti tergambar dalam pernyataan “orangnya suka keras dan kasar kalau bicara sama tetangga di lingkungannya.”

Menurut Kapolri, masalah individual itu sudah diselesaikan secara baik dengan mediasi pihak Kepolisian. Namun yang terjadi kemudian sungguh di luar nalar. Bagaimana bisa ketidaksukaan satu orang terhadap satu hal di satu tempat lantas berubah menjadi amuk masa yang membabi buta.

Protes satu orang atas suara adzan berganti gelombang sentimen keagamaan yang luas. Apakah si pemrotes itu mewakili kelompok keagamaannya? Apakah rasa terganggu si pemrotes itu adalah representasi rasa ganggu bersama? Lantas, merusak rumah-rumah ibadat adalah harga yang pantas dibayar?

Irasionalitas menjadi semakin kuat ketika kita mengetahui bahwa amuk massa tersebut diletup provokasi tak berdasar oleh sosok tak kasat mata yang beroperasi dari jarak yang sangat jauh. Terkuak, gambar-gambar masjid yang dirusak sengaja disebarkan sosok yang kemudian diidentitikasi berinisial AT (41), warga Jakagarsa, Jakarta Selatan melalui situs jejaring sosial Facebook, lantas dengan cepat menundukkan akal sehat dan berubah menjadi api kemarahan yang membara. Padahal gambar-gambar tersebut adalah kejadian pada tahun 1990-an di tempat berbeda.

Bagaimana bisa AT dari Jakarta dengan cepat memancing emosi dan membakar amarah warga nun di Tanjungbalai sana? Bagaimana bisa postingan gambar-gambar lain dengan mudah menipu warga Tanjungbalai, memberi kesan bahwa mesjid di sana benar-benar telah dirusak? Bagaimana bisa satu-dua postingan bermetamorfosis menjadi kabar genting yang berhembus ke seantero Sumatera Utara, bahkan tak terkecuali kita di tempat-tempat lain? Bagaimana bisa melalui telepon genggam dan sebuah akun yang bisa dibuat secepat kilat bisa mencabik-cabik keharmonisan yang sudah dijaga selama bertahun-tahun?

Pada titik ini kita tertegun. Di satu sisi, walau tergaris sebagai bangsa ber-bhineka tunggal ika soal agama-juga anasir SARA lainnya- di negeri ini masih sangat sensitif. Akal sehat bisa lenyap seketika bila agama “disentuh.” Genderang “perang” lekas ditabuh bila ada yang menyentil atribut agama. Perpecahan pun mudah terjadi dengan memainkan bidak agama.

Di sisi lain, isu agama sangat “seksi” dijual, dipermainkan, dan dijadikan objek untuk kepentingan sesat. Laku AT menjadi bukti betapa “seksinya” agama di jaga maya dan betapa “berbahayanya” sosial media untuk memantik apa yang dalam istilah kekinian disebut ujaran kebencian (hate speech).

Umat lintas agama membersihkan Wihara Tri Ratna, Minggu (31/7/2016), yang dirusak massa di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7/2016). Gambar dan keterangan gambar KOMPAS/NIKSON SINAGA.
Umat lintas agama membersihkan Wihara Tri Ratna, Minggu (31/7/2016), yang dirusak massa di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7/2016). Gambar dan keterangan gambar KOMPAS/NIKSON SINAGA.
Pisau bermata dua

Ujaran kebencian adalah ancaman yang sedang kita hadapi saat ini. Kemunculannya tak bisa lepas dari “berkah” yang kita terima dari perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi yakni internet. Pakar komunikasi massa, Denis McQuail dalam bukunya McQuail’s Mass Communication Theory (2010:144) menyebutkan realitas baru yang ditawarkan oleh internet melalui aneka media baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun