Demikian pun bila ingin menerapkan kebijakan seperti yang diterapkan Komisi Eropa sejak akhir Mei 2016 yakni menekan perusahaan teknologi informasi besar untuk terlibat memerangi ujaran kebencian di Facebook, Twitter, Youtube dan Microsoftdi antaranya dengan menghapus ujaran kebencian dalam waktu kurang dari 24 jam.
Hal tersebut bakal menemui hambatan mengingat provider sosial media raksasa itu berbasis di luar negeri dan servernya tak ada di Indonesia. Apakah pemerintah menjamin mampu berkomunikasi secara cepat dan tepat dengan para raksasa itu sebelum ujaran kebencian tersebar luas? Dalam kasus Tanjungbalai, dalam hitungan detik, seperti sifat sosial media di atas, ujaran kebencian itu beredar cepat.
Sehingga langkah tepat dan urgen adalah membangun kesadaran para pengguna. Usaha tersebut lebih menyasar kepada para pengguna, ketimbang menempuh langkah teknis yang sifatnya menekan atau mengurangi “pasokan” ujaran kebencian. Bila kecakapan dan etika bersosial media tak juga dibenahi maka “pasokan” ujaran kebencian itu akan bertumbuh bak jamur di musim hujan dan usaha pemerintah pun tak lebih dari lakon sisifus.
Pelanggaran UU ITE pasal 28 ayat 2 dengan sanksi pidana penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar bagi para penyebar ujaran kebencian tak akan berdaya meredam praktik-praktit tak terpuji itu. Malah harga yang dibayar akibat penyebaran informasi bohong dan provokatif berdasarkan SARA jauh lebih mahal seperti yang kita saksikan di Tanjungbalai.
Lantas, langkah konkret apa yang perlu dilakukan untuk membangun literasi sosial media terutama demi menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia? Pertama,memanfaatkan jalur formal (sekolah dan universitas) untuk mengajari kecakapan bermedia sosial. Tak hanya secara teknis melaui mata pelajaran komputer dan media, juga Ilmu Pengetahuan Sosial, kesehatan, dan bahasa.
Mereka tidak hanya diarahkan untuk pandai membaca, menyimak dan menulis di berbagai platform-yang tentu saja akan tahu dan berkembang dengan sendirinya-namun lebih dari itu mampu membedakan fakta dari kabar bohong, memilah situs dan alamat web yang berguna dari yang “abal-abal” dan menjadi agen kerukunan melalui aneka kreasi yang bisa mereka gunakan melalui beragam platform sosial media.
Kedua,memperkuat basis penanaman nilai-nilai etis melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga agama. Sebagai prinsip yang mengajari tentang kebaikan dan kebenaran, pengajaran tentang etika yang benar itu bisa dilakukan di dalam keluarga, sekolah-sekolah, universitas, maupun melalui mimbar keagamaan. Penting menekankan toleransi, keberagaman, penghargaan terhadap kebebasan berekpresi, berpendapat dan memeluk serta melaksanakan praktik keyakinannya.
Orang tua, para guru dan pengajar, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, tokoh pemerintahan, bisa menjadi teladan untuk mengajarkan prinsip-prinsip etis tersebut. Saat ini hampir tak ada seorangpun yang tak berkawan dengan sosial media, termasuk para pemimpin dan tokoh terpandang.
Melalui akun-akun sosial media, mereka bisa mengampanyekan keberagaman, kerukunan, saling hormat menghormati dan menghargai perbedaan. Jangan sampai para tokoh menjadi aktor utama menyebarkan ujaran kebencian seperti yang masih kita saksikan di sejumlah akun sosial media sejumlah orang yang terpandang dan dianggap sebagai tokoh panutan.
Jangan sampai mengharamkan debat secara kritis, dan diskusi secara konstruktif, yang pada gilirannya akan menjadikan sosial media sebagai medan pelampiasan.