Sejatinya, keberlimpahan itu menjadi berkah terutama dari segi komposisi yang mayoritas berusia muda sebagai tenaga penggerak pembangunan. Dengan pendidikan yang memadai dan ketersediaan lapangan kerja, tenaga-tenaga muda tersebut adalah aset berharga untuk memajukan perekonomian.
Menurut studi indonesia-investments.com, rerata penduduk Indonesia pada tahun 2016 berada dalam kategori median age yakni 28,6 tahun dan separuhnya berusia di bawahnya. Seharusnya, komposisi tersebut berdaya menopang, bila saja tak mampu mendongkrak perekonomian.
Tetapi yang terjadi adalah angka pengangguran yang tinggi terutama untuk usia 15 hingga 25 tahun. Artinya, mahasiswa yang baru saja lulus kuliah tak serta merta mendapat pekerjaan. Di satu sisi, kurangnya lapangan kerja tidak hanya memperkecil peluang para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan, di sisi lain prosentase tenaga kerja Indonesia yang berijazah SD yang tinggi mencerminkan seperti apa kualitas tenaga kerja kita saat ini.
Angka pengangguran terbuka saat ini mencapai 7,02 juta orang atau 5,5 persen (data per Februari 2016, Tempo.co,4 Mei 2016). Walau menunjukan tren penurunan, sepatutnya hal tersebut tak terjadi di negeri yang “kaya” ini bila daya kreativitas tidak tumpul dan terseret dalam arus masa antrian menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Dari data kependudukan yang ada, para ahli telah meneropong jauh ke depan, memprediksi peluang Indonesia mendapat “durian runtuh” pada 2020-2030. Apa yang disebut sebagai bonus demografi perlu disambut dan diantisipasi segera. Mendapatkan sekitar 180 juta orang berusia produktif (berbanding 60 juta jiwa tak produktif) saat itu seharusnya cukup untuk membangun kekuatan ekonomi dan daya saing bangsa.
Namun, lagi-lagi hal itu kembali pada sejauh mana kita mempersiapkan diri saat ini. Jumlah saja tidak cukup. Yang dibutuhkan di masa depan adalah kuantitas dan kualitas, bahkan cenderung mengutamakan kualitas. Melihat geliat negara minor dari segi populasi tetapi superior di semua lini penting menandakan bahwa yang dibutuhkan sebenarnya adalah pemenuhan ungkapan Latin, non multa sed multum.Alias yang dipentingkan bukan jumlah, tetapi kualitas. Bila Indonesia mampu memadukan kedua atribut tersebut maka akan dahsyat hasilnya!
Tak hanya soal pengangguran. Angka kekerasan yang dilakukan kaum muda (perkelahian, tawuran, pemerkosaan, pembunuhan) semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Meningkat dari tahun sebelumnya, pada 2015 terjadi lebih dari 320.000 kasus kekerasan dan pemerkosaan dengan aktor dan/atau korban adalah kaum muda (Kompas,26 Mei 2016 hal.6).
Selain itu, angka pengguna Narkoba (menurut Kompas.com,11 Januari 2016, hingga November 2015 mencapai 5,9 juta orang) berpotensi terus meningkat dan menyasar kaum muda dimana Indonesia masih menjadi surga bagi peredaran barang haram itu. Perilaku seks bebas, aborsi, putus sekolah pun sama memprihatinkan. Seharusnya, hal-hal itu tak sampai sedemikian mengkhawatirkan bila saja kaum muda memiliki kecerdasan emosional, mental dan sosial yang mumpuni.
Pelopor dan Tepuji
Sejumlah kenyataan miris di atas adalah cermin seperti apa generasi muda saat ini. Bila tak ingin wajah kaum muda kian buram, dan bangsa ini kehilangan kekuatan penopang di masa datang, maka perbaikan di segala lini mutlak dilakukan. Kerja sama antarkomponen mulai dari keluarga, tokoh agama, lembaga pendidikan, hingga institusi pemerintah perlu dipertegas dan diperjelas melalui berbagai langkah konkret yang jelas, tegas dan terukur.
Salah satu hal yang bisa ditempuh adalah memperdalam aspek pendidikan dan mempertebal perhatian pada pentingnya kesehatan mental dan fisik. Kembali pada tonggak sejarah yang sudah ditanam pada 12 Februari 1912 di Magelang, Jawa Tengah adalah pilihan bijak.