Berakhirnya BCA Indonesia Open Super Series Premier 2016, Minggu (05/06) menorehkan sejarah tersendiri bagi perbulutangkisan Indonesia. Alih-alih naik podium utama, Merah Putih pun mengukir hattrick tanpa gelar di kandang.
Sejak terakhir kali ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan naik podium utama tahun 2013, Merah Putih tak lagi berkibar di ajang Indonesia Open. Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta tampaknya semakin tak bersahabat walau kecintaan masyarakat pada tempat tersebut tak juga memudar.
Sebagai satu-satunya stadion dengan fasilitas terlengkap di Tanah Air, perhelatan Indonesia Open tak pernah beranjak dari tempat tersebut. Meski demikian patut diakui tingkat kepantasannya semakin berkurang seiring usia yang menua dan perawatan yang tak maksimal.
Hampir tak pernah ada perubahan signifikan di tempat tersebut dari tahun ke tahun, selain balutan dekoratif yang meperlihatkan kesan semarak dan wah di titik-titik tertentu. Buktinya langsung terlihat di babak pertama saat hujan lebat mengguyur Ibu Kota.
Atap stadion kebanggaan itu bocor dan mengganggu pertandingan di tiga lapangan yang ada. Pertandingan Jonatan Christie menghadapi Hsu Jen Hao asal Taiwan sempat terhenti beberapa menit menunggu para petugas mengeringkan lapangan.
Lin Dan yang bertemu tunggal Malaysia Zulfadli Zulkiffli pun tak bisa menutup mulut melihat kondisi miris itu. Menurut jagoan Tiongkok itu, peristiwa tersebut tak pernah ditemuinya selama ini. Seloroh yang sangat menohok, bukan?
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa Istora tak bisa lagi diandalkan. Sebagai negara dengan tradisi bulu tangkis yang kuat dan mengandalkan cabang tersebut untuk berkibar di pentas internasional, fasilitas dan infrastruktur dasar itu mesti sudah disiapkan dan diantisipasi jauh-jauh hari.
Namun, yang terjadi Indonesia hampir tak pernah bisa berbenah dan move on dari tempat tersebut. Bahkan, di ajang Indonesia Open kali ini Indonesia ‘melanggar’ ketentuan BWF terkait arena pertandingan.
Seperti ditulis Harian Kompas,Kamis, 2 Juni 2016 hal. 28, satu dari empat poin terkait arena untuk sebuah turnamen kelas super series/super series premier, ialah dimainkan minimum di empat lapangan.
“Banyak alasan mengapa kami memakai tiga lapangan, mulai dari faktor kenyamanan pemain dan penonton, aktivitas di lapangan, sampai pada kepentingan sponsor,” dalih Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP PBSI Bambang Rudy Roedyanto.
Alasan yang dikemukakan di atas sebetulnya bertitik pangkal pada kesanggupan Istora, walau ‘pelanggaran’ sejenis pernah terjadi di tahun ini di Hong Kong Terbuka dengan kompensasi durasi turnamen diperpanjang seperti terjadi di Indonesia Open kali ini.