Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

LEMBATA, Sebuah Novel (II)

6 Oktober 2015   15:39 Diperbarui: 6 Oktober 2015   15:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang telah dikemukakan bagian pertama, LEMBATA, Sebuah Novel (LSN) merupakan sebuah karya yang  mempertanyakan keberadaan Gereja Katolik sebagai pembawa keselamatan dan kesejahteraan manusia. Gereja Katolik merupakan sebuah institusi religius yang telah berpamor dan merebut hati jutaan manusia sehingga kepadanya umat manusia menggantungkan harapan dan cita-citanya. Bukan tanpa alasan. Selain faktor historis berupa sepak-terjangnya yang telah mengakar dalam lembaran sejarah peradaban umat manusia  juga karena kekuatan spiritual yang terpancar dari dalam tubuh Gereja sendiri. Tidaklah terlalu naif jika dikatakan bahwa aura religius yang menyembul dari balik kata-kata doktrinal, janji keselamatan yang terformulasi dalam berbagai ajaran Gereja serta peri hidup yang menarik dari para pemimpinnya sebagai bentara dan punggawa Gereja akhirnya mampu mengikat hati setiap pemeluk yang dengan tekun menggantungkan keselamatan kepadanya. Sekalipun kebenaran akan pernyataan ini bisa dipertanyakan lebih jauh dalam arus fluktuasi sejarah (baca: terang dan gelapnya), minimal dengan mengangkat tokoh dan ajaran Yesus Kristus yang masyur ke atas pentas kehidupan kekristenan, maka jawaban terhadap pertanyaan sejauh mana aura religius itu membuahkan hasilnya dapat ditemui. Tokoh Yesus dan sepak terjang-Nya menjadi basis penting yang menandai kehadiran agama Kristen di dunia.

Gerakan keselamatan yang mula-mula diwartakan-Nya dan kesaksian-Nya yang pertama-tama menarik hati para pengikut-Nya menjadi titik start yang senantiasa dikenang dan dijadikan sebagai referensi utama perkembangan sejarah kekristenan.

Dari cita-cita keselamatan sebagai tujuan tertinggi ini berkembanglah pertanyaan, apa itu keselamatan? Apakah keselamatan ini hanya akan tercapai pada suatu saat kelak misalnya ketika raga tak lagi mengandung dalamnya roh yang membuatnya hidup sebagai seorang manusia? Ataukah keselamatan ini dapat menemui bentuknya yang paling jelas dalam kesejahteraan batiniah dan jasmaniah saat ini?

Pertanyaan tersebut memiliki muatan teologis yang kaya sekaligus dalam. Kedalaman ini tak akan tercapai hanya dengan satu-dua pernyataan dangkal. Kekayaan yang bisa dipanen  tidaklah cukup ditangkupi dengan satu-dua bejana pemahaman. Karena itu  untuk menjawabi pertanyan terdahulu serentak mengandung harapan tersimpulnya benang korelasi antara keselamatan yang ”utopis”, yang akan tercapai kelak di dunia baka dan keselamatan yang menyata ”sini-kini”, kita dapat merunut perjalanan historis tumbuh dan berkembangnya agama Katolik di suatu dunia kehidupan tertentu. Berharap bahwa nada eksklusivistis akan keselamatan yang hanya menjadi ”jualan” khas Gereja Katolik dan klaim kebenarannya dimonopoli masyarakat  tetentu dapat dibuang sejauh mungkin, maka napak tilas ini akan menemui kita dengan suatu keterbukaan pemahaman.

Gereja telah berakar dalam kehidupan bermasyarakat di dunia. Agama Katolik adalah agama bahari yang telah menancapkan akarnya di dunia dan bersamaan dengan itu sulur-sulur pertumbuhannya terus merambat ke segenap semesta termasuk di nusantara ini.         Agama Kristen dan Islam masuk Indonesia beberapa abad pasca-Hindu dan Buddha (abad 5 M). Sebagaimana misi perniagaan yang dilakoni para pedagang Arabia dan Persia yang ”menyusupkan” agama Islam demikianpun agama Katolik dikenal di Indonesia berkat usaha para pedagang Portugis.

Rupanya letak geografis yang strategis pada jalur perdagangan lintas bangsa serta kandungan kekayaan alam yang potensial membawa berkah bagi pewartaan agama di Indonesia. Dari catatan sejarah kekatolikan di Indonesia, sejak abad 12 dan 16  agama Katolik perlahan-lahan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Sekalipun misi evangelisasi memboncengi kolonisasi, namun di balik ekspansi kekuasaan itulah benih-benih kekristenan secara perlahan-lahan namun pasti ditebarkan di persada Indonesia. Sulit dibayangkan nasib agama Katolik di Indonesia jika mengabaikan catatan kelam bertahun-tahun silam.

Akankah  format religiositas tradisional sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai penganut animus dinamis atau agama leluhur/agama asli  mendapatkan bentuk barunya sebagai pengikut Kristus? Rupanya di atas lembaran hitam masa lalu itulah, tertulis dengan tinta putih nama-nama para martir pionir yang telah mengabdikan dirinya demi karya penyebaran kerajaan Allah di Indonesia. Berkat jasa para penyebar dan peletak dasar agama Katolik di Indonesia-sebut saja para Imam Dominikan (OP) dan Yesuit, kategori masyarakat Indonesia sebagai gens candida sed ruda, sebuah bangsa yang suci namun terbelakang dapat dibaharui dan diindegenisasi menjadi umat Katolik di Indonesia.

Kenangan kita akan jasa para misionaris awal tidak semata-mata terpusat pada kegigihannya membangun fondasi kekristenan. Usaha mereka yang patut diacungi jempol menyata dalam pemberian diri yang total untuk membangun kesejahteraan rakyat. Rupanya mereka tidak hanya berhenti pada taraf pembangunan rumah rohani bagi masyarakat tetapi juga menyediakan kediaman jasmani yang dalamnya umat Allah merasakan kedamaian dan kesejahteraan sebagai makhluk jasmani dan rohani. Di samping penyediaan sarana ibadat, para misionaris juga ”menghadiahi” umatnya dengan berbagai sarana-prasarana dan infrastruktur pendidikan, ekonomi, transportasi, keterampilan dan sebagainya. Pendirian berbagai sekolah akademi dan kejuruan serta usaha meretas isolasi wilayah menjadi bukti nyata kontribusi totalnya bagi pembangunan iman dan kesejahteraan manusia.  

Di Nusa Bunga, Agama Katolik telah lama berdiri. Sejak kedatangan orang-orang Portugis dalam misi imam Dominikan, agama Katolik di Flores terus mengalami peningkatan dalam jumlah. Pengikut-pengikut para imam Dominikan, Yesuit dan SVD-sebagai sederetan peletak dasar agama Katolik, terus bertambah. Para misionaris inilah yang berjibaku mewartakan ajaran dengan segenap tenaganya hingga titik darah penghabisan. Sepak terjang meraka direkam dalam pertambahan jumlah pengikutnya yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Seiring dengan pertambahan jumlah ini harapan yang digantungkan kepada

Gerejapun tidak kurang banyaknya. Karena akar yang telah tertanam kuat itulah semangat Krstiani menjiwai peri hidup masyarakat yang telah merasa bersatu dengan Gereja dan menjadi bagian dari ”dewa penolong” keselamatan jiwa dan raganya, kini dan kelak. Karena itu, peran Gereja dan sepak terjangnya dengan misi keselamatan itu amat didambakkan. Gereja Katolik tetap berpaut dengan masyarakat dan karenanya dari pertautan itu menyisahkan konsekuensi ketergantungan yang tak terkira dari masyarakat atau umat Katolik sendiri.

Tidak mengherankan jika kontribusi-kontribusi yang telah ditunjukkan Gereja dari waktu ke waktu di tanah Flores terus direkam. Sumbangan bagi pengembangan iman, pendidikan dan ekonomi masyarakat melalui usaha pembaptisan, penyediaan saran ibadat, pembangunan sekolah dan tempat kursus keterampilan dan sebagainya telah membuat masyarakat terus menaruh harapan yang tidak pernah berkurang kepada Gereja Katolik. Karena itu ketika Gereja mulai menarik diri dari arena kehidupan dengan memperkecil besarnya donasi kepada umat dengan alasan bahwa umat mesti berdikari maka pada saat itu akan muncul reaksi sebagai tanda belum relanya umat membiarkan dirinya berkembang sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang mencuat dari dalam LSN  merupakan  pertanyaan-pertanyaan kecemasan masyarakat yang takut untuk hidup berdikari.

Berbagai persoalan dikisahkan dalam LSN seperti ”tarik-ulur” rencana pertambangan (LSN. hlm. 69-72), kemiskinan ekonomi dan ketertinggalan (LSN, hlm. 59-65;85-87;139-145), tekanan kelompok penguasa atas masyarakat kecil (LSN, hlm. 211-219) dan beberapa persoalan dalam tubuh Gereja berkenaan dengan kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil serta hirarkisme (LSN, hlm. 150-151). Persoalan-persoalan ini selalu saja memiliki keterkaitan dengan Gereja Katolik. Problematika yang mengemuka menjadi tanda bahwa Gereja tetap memiliki kedekatan dengan umatnya.

Dan anggapan bahwa persoalan mereka adalah persoalan Gereja masih tetap berlaku. Dan bukan tanpa pertimbangan. Faktor historis telah mempertautkan kita dengan cerita tentang ”perkawinan” masyarakat dengan Gereja Katolik. Pinangan Gereja Katolik dengan senang hati diterima masyarakat. Mas kawin yang dibayar Gereja Katolik ialah pemberian dirinya dalam rupa donasi institusionalisasi benih iman menjadi sebuah kepercayaan akan Gereja Katolik. Dan pemberian ini dipertegas dengan pemeliharaan tubuh jasmani dalam rupa sumbangan meterial untuk pembangunan kesejahteraannya sehingga memungkinkan benih iman itu tumbuh dan berkembang.

Di sisi lain misi utam Gereja Katolik ialah membawa keselamatan. Keselamatan menjadi kata kunci. Manifestasi akan keselamatan itu dapat ditemukan dalam beberapa bentuk. Beberapa ajaran gereja secara terang-terangan menguraikannya. Di antara berbagai macam ajaran yang ada dapat disebutkan beberapa seperti masalah buruh yang oleh Paus Leo XIII diterbitkan eksiklik Rerum Novarum pada tahun 1891 dan jauh sesudah itu refleksi atas kerja manual manusia dalam Laborem Exercens. Refleksi iman atas persoalan sosial politik dan keamanan yang dihadapi dunia dapat ditemui dalam Quadragesimo Anno dan  Mater et Magistra.

Di samping itu, Pacem in Terris (1963) juga berbicara tentang perdamaian antarbangsa dalam kebenaran, keadilan, kasih dan kebebasan. Ensiklik Gaudium et Spes memuat idealisme reformasi di tubuh Gereja dalam pendekatannya dengan dunia. Ada pula Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI yang berusaha meneruskan semangat dialog dan karya sosial Gereja dari Konsili Vatikan II. Dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dapat dijumpai sikap Gereja di tengah persoalan hal hak-hak asasi, nilai-nilai spiritual, dan lingkungan.

Aneka ajaran Gereja yang beberapanya disebutkan di atas merupakan manifestasi tanggung jawab Gereja melalui para gembala dan pemimpinnya terhadap panggilannya dalam tubuh Gereja Katolik. Karena itu menjadi jelas bahwa di hadapan berbagai kenyataan tersebut Gereja tidak bisa berdiam diri dan berada sebagai kubu yang apatis. Gereja mesti bertindak. Tindakan Gereja ini serentak menjadi seruan persuasif yang mempengaruhi para warganya  untuk menjadi kaki-tangan Gereja dalam mengaplikasikan secara konkret setiap kata-kata yang tercetak di atas lembaran ajaran Gereja. Kata-kata tertulis yang terangkai indah mesti diwujudkan dalam tindakan nyata.

Dengan demikian, Gereja menggeluti setiap persoalan yang memiliki cakupan karakteristik dan wilayah geografis yang begitu luas. Ruang dunia adalah ruang praktik Gereja untuk mengembangkan diri dalam menerjemahkan panggilan dan tanggung jawabnya. Itu berarti kompleksitas dunia menjadi tanggungan Gereja dan para anggotanya. Gereja tidak membatasi diri pada hal-hal tertentu yang dirasa urgen, penting dan menguntungkan serta sebaliknya, bersikap masa bodoh terhadap hal-hal lain yang menguras tenaga dan menyita perhatian. Gereja tidak semata-mata berkutat dan memfokuskan atensinya pada urusan religius dan khas Gereja Katolik semata, tetapi juga masalah-masalah publik seperti ekonomi, politik dan sosial. Singkatnya, dunia yang luas adalah dunia Gereja. Cita-cita kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran dan keadilan yang diserukan oleh setiap orang  di seantero jagat adalah cita-cita Gereja pula.

Segebung ajaran Gereja di atas merupakan tanda keberpihakan Gereja terhadap dunia. Di atas dunia ini Gereja menegakkan kerajaan Allah. Bersama masyarakat di dunia berarak menuju tanah air surgawi tempat keselamatan yang paripurna dialami.  Karena itu satu pertanyaan penting bisa diajukan, apakah mungkin umat akan tetap berjalan bersama Gereja jika Gereja tidak lagi mengakomodasi mereka atau telah hilang kepercayaan umat terhadap Gereja karena adanya pengalaman yang tidak meyakinkan mereka akan kepastian keselamatan itu? Karena itu dengan berkaca pada selentingan Pedro, tokoh utama dalam LSN, Gereja Katolik bisa merefleksikan spiritnya yang khas, Ecclesia semper reformanda. Selentingan Pedro “…apa saja yang  telah dikerjakan oleh Gereja, hingga umat kita tetap misikin?” (LSN, hlm. 61) dalam kadar tertentu sesungguhnya hendak mengukur sejauh mana Gereja Katolik terbuka terhadap dunia dengan segala perkembangannya yang menuntut Gereja untuk mengambil sikap.

Persoalan “roti-anggur” adalah sebagian dari aneka persoalan yang  lahir dari bilik pertanyaan masyarakat. Berbagai persoalan yang dihadapai masyarakat dan Gereja sendiri terkristalisasi dalam “roti-anggur” ini. “Roti-anggur” merupakan bahasa lain untuk hirarkisme yang tertanam kuat dalam tubuh gereja. “Roti-anggur” merupakan nama lain dari tradisi baku dan ajeg  yang dipertahankan dari waktu ke waktu . “Roti-anggur” menjadi forma baru dari bentuk kerja sama Gereja dan jaringan kapitalisme yang senantiasa ditakuti masyarakat luas.  “Roti-anggur” juga adalah symbol dari kepasifan Gereja dan ketertutupannya terhadap berbagai kemungkinan reformatif yang bisa diambil.  Karena itu ketika Gereja terus berkutat dengan tradisi ini maka Rahardi menawarkan cara  lain entahkan sebagai sebentuk kritik, sindirian atau alternatif yang mungkin dipilih sebagaimana yang dilakonkan tokoh Pedro dalam aksinya menggiatkan tradisi baru “moke-jagung titi”. Tidak sampai di situ. Aksi Pedro kian menjadi-jadi. Ia tidak hanya menegakan tradisi “moke-jagung titi” sebagai ganti “roti-anggur” tetapi ia juga memilih mundur dari  dunia yang dianggapnya belum mengejawantahkan keselamatan kepada umatnya sehingga ia merasa perlu mengusahakan sendiri gandum dan anggur bagi masyarakat setempat sebagai sebuah counter act.

Dengan mengusahakan gandum dan anggur bagi rakyat terkandung cita-cita kesejahteraan yang bakal dirasakan masyarakat di sekitarnya. Kesejahteraan inilah yang sesungguhnya mau menjawabi pertanyaan apakah keselamatan itu hanya terjadi pada saat terakhir dalam dunia kebakaan. Dan Rahardi dengan aksinya ini menjawab sendiri bahwa keselamatan itu mesti dirasakan pula saat sekarang ini. Dengan demikian iapun semakin bergiat mengusahakan kesejahteraan rakyat sekalipun usahanya itu terlampau luar biasa. Ketika ia memilih mundur dari jabatan imam dan menekuni status barunya itu sesungguhnya Pedro sedang menantang setiap bentuk pengkultusan kaum terpanggil yang merasa dirinya berarti ketika mengenakan jabatan mulia itu dan akan mengalami kehilangan artinya serentak setelah statusnya ditanggalkan.

Catatan akhir

Di balik tema LSN mengkritisi peran gereja katolik sebagai institusi pengusaha keselamatan rohani dan kesejahteraan jasmani, terkandung sebuah kecemasan. Kecemasan ini merupakan akibat dari ketergantungan masyarakat yang terlampau kukuh kepada Gereja yang bisa membuat mereka selalu hidup dalam mentalitas yang siap menerima saja tanpa mau berusaha sendiri. Dengan kekuatan ikatan itu para pemeluk akan sulit membebaskan diri dari perihidup parasit yang hidup dan matinya ada pada Gereja Katolik. Memang telah dikatakan bahwa Gereja menawarkan jalan keselamatan dan adalah tugas Gereja untuk  menyediakannya bagi umatnya dalam berbagai bentuk tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dengan cara seperti itu Gereja sesungguhnya telah memupuk sikap ketergantungan dari umatnya.

Wujud ketergantungan ini bisa nampak dalam rupa yang ekstrim. Selain ketergantungan mutlak, segalanya diharapakan dari Gereja juga ketergantungan itu bisa nampak dalam bentuk lain. Warga akan tetap mengaggap Gereja sebagai tumpuan awal atau akhir hidupnya. Jika warga mengalami kesulitan untuk memulai hidup baru mereka akan mendekatkan dirinya pada Gereja. Demikianpun jika berbagai cara telah ditempuh dan pada akhirnya menemui ketidakpastian merekapun akan memalingkan wajahnya pada Gereja. Besar atau kecil, sulit atau sederhana, ketergantungan  itu tetap akan ada.

Salah satu kemungkinan yang bisa diangkat ialah sebagaimana yang ditampilkan sang pengarang, F.Rahardi. Rahardi sedemikian bergelora berbicara tentang Gereja Katolik dalam bahasa literernya yang lugas. Hitam-putih bahasanya tercermin dalam pembeberan tanpa  tedeng aling-aling terhadap setiap persoalan yang  muncul dalam tubuh Gereja sendiri. Aneka persoalan seputar selibater, kehidupa seksual para imam, hirarkisme diangkatnya dengan kupasan yang terbuka dan apa adanya. Dengan berbicara seperti itu sesungguhnya Rahardi sedang menggantungkan dirinya pada Gereja Katolik. Dengan berbicara tentang Gereja Katolik berarti ia tengah mengulangi setiap pengalaman yang dialami dalam dan bersama Gereja Katolik.

Membaca secara keseluruhan LSN sebagai sebuah karya sastra akan terasa adanya kekurangan yang cukup mengganggu. Kekurangan itu dapat dijabarkan dalam dua segi yakni penampilan literer dan muatan pesan yang akan ditangkap pembaca. Ketegasan dalam  membuat pembedaan antara monolog dan dialog belum terasa. Terkesan adanya inkonsistensi dalam membuat secara tepat pemisahan antara bentuk kutiban langsung dan tidak langsung sebagai pembeda  tampilan antara keduanya. Pembaca akan merasa kesulitan untuk mencerna sebagai apakah tokoh yang dibicarakan dan kepada siapakah ia berbicara. Penampilan literer ini sekalipun mudah diatasi oleh seorang pembaca yang murah hati namun tetap menyisahkan persoalan yang fundamental dalam benak pembaca  yang tanggap, apakah kekilafan teknis bisa dimaklumi jika terus berhadapan dengan kekeliruan yang sama dan tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja jika kualitas seorang pengarang juga menyangkut kepiawaiannya dalam meracik sebuah dialog dan monolog serentak membuat distingsi yang tepat atasnya.

Di pihak lain jika kita mencerna keseluruhan alur cerita akan terasa adanya kejanggalan pada bagian penyelesaian atas masalah yang dihadapi masyarakat Lembata. Aksi Pedro mendatangkan gandum dan anggur ke bumi Lembata sebagai bentuk protes terhadap kekukuhan tradisi ”roti-anggur” merupakan sebuah bentuk penyelesaian yang kurang bijaksana. Setelah melakukan sebuah tindakan yang fatal pada sebuah kesempatan perayaan ibadat, Pedro lantas menanggalkan jubah imamatnya dan memilih mengusahakan sendiri gandum dan anggur bagi rakyatnya. Pada titik ini terkesan ketokohan Pedro menjadi kurang arif malah menampilkan  sebentuk ironi. Seorang bijak tidak akan memungut kesalahan sesama yang dicelanya dan mengubahnya dalam format yang baru sebagai kepunyaannya untuk dijadikan sebagai pembanding. Rahardi pun menjadi seorang yang kurang bijaksana ketika aksi protes sang tokoh Pedro atas sikap Gereja yang tidak menggunakan jagung dan moke dalam ibadatnya tidak ditindaklanjuti dengan memberdayakan moke dan jagung titi yang adalah produk lokal yang dianjurkannya dan bernilai prospektif, tetapi yang ditanamnya adalah anggur dan gandum, komoditi  yang telah ”dicela” dan asing di Lembata.

Akhirnya dengan mengangkat sepak terjang radikal Pedro terkandung harapan akan adanya perubahan dalam tubuh Gereja. Dengan menegakkan tradisi baru berarti mata Gereja akan terpincing untuk berbenah diri. Satu persoalan yang muncul adalah bahwa Gereja merupakan suatu institusi global bukanya terfragmentasi secara lokal. Cita-cita perubahan akan memperoleh titik cerah jika menyangkut kehidupan mayoritas warganya. Kecil kemungkinan atau sama sekali nihil jika ukuran yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu di suatu daerah tertentu dijadikan sebagai tolak ukur bagi munculnya suatu harapan akan perubahan mondial.

Apalagi harapan akan perubahan yang digantungkan pada Gereja lebih pada perubahan radikal suatu tradisi yang telah tertanam kuat. Bukan tidak mungkin Gereja akan berubah tetapi perubahan itu tidaklah sekejap seperti yang dilakukan Pedro dengan segera menggantikan ”hosti-anggur ” dengan ”jagung titi-moke”. Perubahan yang terjadi inipun dimahfumi sang pengarang ketika menggambarkan tokoh Ola yang kukuh  pada sikapnya mencintai Pedro. Sangat perlahan dia sampai pada keyakinan bahwa cinta tidak mesti sama dengan seks, ”Pedro, cinta, terlebih seks, ternyata memang bukan hal yang utama ya?” (LSN, hlm. 256). Setelah berubah sikap, dia menjadi penyelamat bagi Pedro dan masyaraket Lembata yang sedang mencari jalan keluar memasarkan anggur dan gandumnya.

Sayang bahwa dengan hadirnya Ola sebagai tokoh penyelamat ini semakin mengganggu keseluruhan penyelesaian atas persolan krusial yang dihadapi. Luciola datang dengan aksinya yang bersifat kebetulan dan menjadikannya sebagai akhir penyelesaian dari setiap persoalan pelik yang dihadai Pedro. Sesungguhnya sebuah persoalan yang sulit tidak semestinya diselesaikan dalam sebuah kebetulan yang tidak menegangkan, malahan hanya akan mengguratkan kesan kedangkalan cerita. Dengan kebetulan yang amat menentukan ini, bukan mustahil pembacapun akan mengamini bahwa ternyata jalannya sebuah kisah yang diceritakan penuh dengan pergolakan dan pertarungan yang sengit tidak menjadi sebuah jaminan bahwa pelukisan penyelesaiannya akan sepelik tegangan persoalan itu. Harapan akan adanya penyelesaian yang memukau dapat diredam hanya dengan kehadiran sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka dan tentunya tidak dikehendaki pula. 

SELESAI

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun