Kedua, berkaitan dengan ibadat. Manakala sebuah kultus keagamaan dibuat secara khusuk, dengan tanpa melewatkan tuntutan waktu yang digariskan dan dilakukan secara teliti, tetapi terpisah dari penghayatan religiositas yang sejati maka yang terjadi itu hanya sekadar formalisme dan basa-basi belaka. Ibadat yang terjadi itu tidak berfaedah bagi peningkatan mutu hidup seseorang karena hanya berakhir dalam rumah ibadah dan disudahi oleh kultus yang artifisial. Kadar kelegaan dan kepuasan dari praktik penghayatan itu tercapai selepas menuntaskan tanggungjawab keagamaan dan bukan pada penerapan kehendak Allah dalam praksis hidup harian. Cukuplah baginya untuk memperhatikan ketertiban dan kesetiaan dalam mengikuti peraturan dan petunjuk, rapinya pelaksanaan, lengkap dan meriahnya aksesoris, indahnya pakaian ibadat, dan maraknya iringan lagu dan musik.
Ketiga, orientasi hidup keberagamaan yang tidak tertuju pada pembinaan hubungan dengan Allah lewat penghayatan kehendak-Nya secara sadar hanya akan membawa seseorang pada penghayatan hidup yang dangkal. Ajaran moral hanya dipandang sebagai sekumpulan aturan yang mesti dihayati agar tidak mendapat hukuman. Kesungguhan penghayatan tidak lebih dari sekadar mendapat imbalan pujian atau sanjungan. Peraturan keagamaan dihayati semata-mata demi peraturan itu sendiri dan bukannya demi kepentingan yang terkandung di dalamnya. Ortodoksi tidak “menjadi daging” dalam ortopraksis. Sabda tidak menjadi satu dengan tindakan. Tak pelak, wajah-wajah para koruptor, pembunuh, dan sebagainya tetap saja ditemui dalam rumah-rumah ibadah. Raut wajah mereka seakan menampilkan kesan sebagai orang beragama padahal hanya sebuah quasi keberagamaan karena peraturan agamalah yang dijunjung tinggi dan bukannya maksud dalam peraturan tersebut.Inilah perihidup kaum agamais yang legalistis. Dan agama bisa saja dihayati secara buta, berpegangteguh pada perintah agama semata sekalipun dalam banyak situasi menuntut pelampauan atas perintah agama itu.
Keempat, dalam bidang lembaga. Maksud pembentukan lembaga atau organisasi keagamaan banyak dilecehkan oleh interese-interese tertentu. Ketika lembaga itu tidak mengakomodasi pelaksanaan kehendak Allah maka ia hanya tampil sebagai sebuah organisasi yang mengejar identitas, reputasi dan prestise. Organisasi tidak lagi mengarahkan umat untuk bersama-sama beribadah secara sadar tetapi lebih menekankan keagungan sebuah agama. Organisasi tidak lagi menjadi tulang punggung pembentukan rumah (home) yang layak bagi berseminya religiositas umat tetapi lebih sebagai sarana pembangunan sebuah gedung (house) peribadatan. Organisasi semacam ini tidak lagi bertujuan membentuk kualitas iman umat tetapi lebih pada peningkatan kuantitas keanggotaan dan penampilan lahiriah semata. Agama yang banyak anggotanya dan berpenampilan parlente-lah yang mesti dikejar. Karena yang dipentingkan adalah jumlah anggota, penampilan luar dan maksud “show off”(pamer) yang terpisah dari kehendak Allah, maka lembaga agama itu tidak bedanya dengan sebuah organisasi biasa dengan tempelan nama dan atribut Allah yang palsu.
Masa Depan
Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama tanpa religiositas adalah agama yang semu. Rupa agama yang kelihatan dan material tidak bisa dilepas-pisahkan dari fundamen religiositas yang tak kelihatan dan imaterial itu. Bangunan luar penuh ajaran, kaya tindakan kultis, sarat perintah moral-etik dan rapi organisasinya akan menjadi tak bermakna jika tidak dijiwai oleh semangat iman dan dinafasi oleh panggilan religius dalam diri setiap pribadi. Kata-kata menjadi tak berdaya, peribadatan tidak lagi berarti, perintah agama tidak lagi bertaji dan organisasi tidak lebih dari himpunan massa mengambang. Seseorang yang mengaku beragama tetapi tidak hidup dari “sumber mata air” religiositas tidak jauh berbeda dengan sebatang pohon yang telah menjadi kaku dan menjadi laiknya tanah yang tandus tak berair. Jika demikian akan menjadi lebih baik mengaku diri tak beragama tetapi kukuh menghayati religiositasnya ketimbang menyebut diri seorang beragama tetapi hidupnya penuh kebusukan.
Agama model ini (tanpa religiositas) dapat dipastikan tidak mempunyai masa depan karena sudah barang tentu ditinggalkan setelah ditimpuki dengan rupa-rupa celaan. Dunia saat ini sudah terlalu banyak dinodai oleh darah dan dibanjiri air mata atas nama agama. Yang dibutuhkan sekarang adalah tawaran pelabuhan yang aman dan damai, tempat semua manusia merasa dihargai dan diakui. Agama dapat menawarkan jasa untuk menghantar manusia menuju pelabuhan itu jika dan hanya jika bergerak di atas dasar religiositas yang sejati.
Dan setiap orang dapat menjadi penumpang kapal agama yang sejati jika mengantongi tiket religiositas tersebut. Berbekalkan religiositas itu, baik kapal maupun penumpangnya dipastikan akan selamat sampai ke pelabuhan impian itu. Jika saja terjadi bencana dalam perjalanan tokh riwayat agama dan pemeluk itu tidak akan terkubur selamanya. Agama demikian masih memiliki masa depan yang panjang karena apa yang otentik atau sejati itu tidak mudah lekang oleh waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H