Setelah kemenangan Lila di kompetisi, hidupnya mulai berubah. Beasiswa yang diterimanya membuka peluang untuk melanjutkan pendidikan di universitas arsitektur terkemuka. Meskipun bersemangat, Lila merasakan beban tanggung jawab yang besar. Dia tidak hanya ingin sukses untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk desanya.
Kembali di desanya, Lila menjadi inspirasi bagi banyak anak perempuan yang ingin mengejar pendidikan. Dia mulai mengadakan sesi menggambar dan desain bersama anak-anak di desa, didukung oleh Aria dan Dika. Ketiganya bekerja sama untuk menciptakan program belajar yang menyenangkan, memberikan semangat kepada generasi muda.
Di tengah kesibukan itu, Lila juga mulai merenungkan perasaannya terhadap Dika. Ia merasakan ketertarikan yang semakin dalam, tetapi bingung tentang bagaimana menyampaikannya. Suatu hari, setelah sesi menggambar, Dika mengajak Lila berjalan-jalan di taman.
“Lila, aku sangat bangga padamu. Kamu telah melakukan hal yang luar biasa,” kata Dika. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu, tidak peduli di mana pun kamu berada.”
Mendengar kata-kata Dika, Lila merasa hatinya berdebar. “Dika, aku… aku juga ingin mengucapkan sesuatu. Aku merasa sangat terinspirasi olehmu, dan aku mulai merasa lebih dari sekadar teman.”
Dika tersenyum, “Aku merasakannya juga, Lila. Mari kita lihat ke mana perasaan ini membawa kita.”
Lila dan Dika saling memahami perasaan mereka, dan sebuah hubungan baru mulai terjalin. Dengan dukungan Aria, mereka bertekad untuk menjadikan program belajar lebih sukses. Lila merasa bahwa hidupnya kini penuh dengan harapan dan kesempatan. Dia siap untuk menghadapi tantangan baru di dunia arsitektur, sambil menjaga hubungan yang baru terbangun dengan Dika. Impian dan cinta, dua hal yang kini berjalan beriringan dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
