Mohon tunggu...
Charisma Nariswari
Charisma Nariswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lurah dari Gunungkidul Korupsi 5,2 Miliar Rupiah

29 Oktober 2021   02:11 Diperbarui: 29 Oktober 2021   02:11 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Patologi birokrasi menjadi penyakit dalam berjalannya birokrasi. Penyakit ini sudah ada dan terpelihara sejak lama. Penyakit ini harus ditangani dengan cara yang efektif. Patologi birokrasi muncul beberapa jenis yang ditulis oleh Siagian (1994) mengelompokkan lima kategori, yaitu patologi karena persepsi dan gaya manajerial, patologi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, patologi karena tindakan melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan, patologi karena dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif, dan patologi karena situasi internal berbagai instansi di lingkungan pemerintahan. Sedangkan beberapa contoh dari patologi birokrasi, antara lain korupsi, sabotase, diskriminasi, tidak disiplin, eksploitasi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, tidak adil, intimidasi, dan lain-lain.

Patologi birokrasi bisa muncul dari berbagai tingkatan birokrasi. Tingkatan tersebut mulai dari birokrasi dari pemerintahan pusat sampai pemerintahan desa atau kelurahan. Kasus patologi tersebut misalnya korupsi yang dilakukan oleh lurah Gunungkidul.

Roji Suyanta merupakan lurah nonaktif dari Karangawen, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Ia diduga telah melakukan tindakan penyelewengan atas uang ganti rugi untuk lahan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Kasus ini bermula diterimanya uang ganti rugi senilai total Rp7.128.828.000. Tetapi, hanya sejumlah Rp1,8 miliar yang dikirimkan ke rekening kalurahan untuk pembangunan kembali Balai Kalurahan Karangawen. Sedangkan Rp5,243 miliar sisanya dan pendapatan bunga yang mencapai Rp15,692 juta tidak disetorkan, justru ditransfer ke rekening pribadi untuk membayar utang dan membangun rumah limasan. Ia sempat melarikan diri ke Kalimantan. Upaya penyelidikan dilakukan di awal Juni 2021. Tanggal 8 September 2021 pada Rabu malam, ia menyerahkan diri ke kantor Kepolisian Resor (Polres) Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Akibat kelakuan oknum lurah dari Gunungkidul yang korupsi adalah negara mengalami kerugian sebesar Rp5,2 miliar, ia ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan di Rutan Polres Gunungkidul, serta diancam hukuman pidana penjara maksimal 20 tahun atau seumur hidup berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Polisi pun menyita barang bukti berupa laporan pertanggungjawaban (LPJ) APBDes tahun 2019-2020, rekening koran kas desa (kelurahan) tahun 2019-2021, rekening koran milik tersangka, surat Izin Gubernur terkait Pelepasan Hak Tanah dan Izin Bupati tentang Penghapusan Aset Milik Desa, serta dokumen APBDes dan Perubahan Tahun Anggaran 2019-2021.

Kasus korupsi lurah dari Gunungkidul menunjukkan keinginan individu untuk bermewah-mewah dapat menyebabkan tindakan korupsi. Tindakan tersebut mampu menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat di Karangawen. Peran dari hukum dan masyarakat apabila menemukan suatu tindakan korupsi perlu melakukan pemberantasan. Hal tersebut dilakukan karena untuk menghilangkan dampak kerugian dari korupsi. Sedangkan dari masyarakat sendiri perlu melakukan pemberantasan korupsi dengan cara mencegah, melaporkan, dan menolak ikut tindakan atau praktik korupsi. Cara pemberantasan korupsi dari masyarakat tersebut dapat dilakukan secara nyata, misalkan dengan tidak memilih pejabat yang sudah terpidana korupsi dan mendidik diri sendiri serta orang-orang dilingkungan sekitar agar sadar dan paham tentang bahaya korupsi. Cara melaporkan tindakan penyuapan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan sejenisnya bisa ke Komite atau Kepolisian. Lalu, cara menolak atau tidak ikut serta tindakan korupsi dengan tidak ikut pungutan liar dan tidak memberi suap di instansi pemerintah.

Jika penanganan dan pencegahan tindakan korupsi dilakukan sudah sesuai dan baik, harapannya patologi birokrasi terutama pada kasus korupsi tidak muncul lagi. Sehingga dari tingkatan bawah hingga atas dalam pemerintahan negara tidak mengalami kerugian sebagai dampak korupsi. Serta, harapannya perekonomian dari pemerintahan Indonesia semakin membaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun