[caption caption="mengejar layang-layang putus (sumber : charisfauzan.wordpress.com)"][/caption]Lamunanku mulai menari-nari di awang-awang dunia fatamorgana, membayangkan kehidupan masa kecil yang semakin lama kian menjauh diterpa detik-detik kehidupan baru yang deras menerjang. Sempat terfikirkan di benak liarku, kapankah aku bisa menjalani masa kecil lagi ? Oh, harapan yang sia-sia, karena sejatinya yang paling jauh dalam kehidupan ini adalah masa lalu. Ya, masa lalu yang tidak akan pernah datang kembali.
Ada banyak alasan aku rindu masa kecil, banyak sekali kisah tak terlupakan yang kini semakin dilupakan. Salah satunya kisah tentang balada sang layang-layang yang gagah perkasa menantang gumpalan awan. Layang-layang yang dengan riang mengikuti alunan irama untaian benang senar tuannya. Masih segar di ingatanku betapa masa kecilku amat fanatik dengan permainan tradisional ini, hampir setiap sore setelah ashar, aku bergegas menuju area persawahan kering yang tak ditumbuhi padi untuk melakukan aktivitas yang kini dianggap aneh oleh anak zaman sekarang seusiaku dulu. Bukan untuk menerbangkan layang-layang milikku, namun sengaja untuk menunggui layang-layang putus dari desa sebelah. Sejujurnya, jarang sekali aku tega menerbangkan layang-layangku walaupun sekadar untuk hiburan pelepas penat. Aku pasti sangat terpukul kala mengetahui layang-layangku yang terbang tenang tiba-tiba harus meregang nyawa kala diterjang layang-layang lain yang sok ingin kenalan. Karena itulah aku memilih menyukai aktivitas berebut layang-layang putus yang ku anggap sah jika dimiliki oleh siapapun yang mendapatkan, termasuk aku. Setidaknya, aktivitas itu kujalani hingga menginjak bangku SMP.
Seringnya berebut layang-layang putus membuatku semakin berpengalaman dalam bidang ini. Pernah suatu ketika dalam sehari aku bahkan pernah mendapatkan 10 layang-layang sekaligus hasil kerjaanku menunggui layang-layang putus dari pagi hingga senja tiba. Aku sendiri amat jeli ketika mengamati seok-seok pergerakan benang layang-layang putus yang terbang cepat terbawa angin, teman-teman sebayaku kebanyakan terkecoh untuk fokus mengambil layang-layangnya, bukan benangnya. Hingga ketika mereka jatuh bangun mengejar layang-layang putus, aku cuma duduk diam, menunggu benang lewat. Hingga tiba saatnya mereka cuma melongo menyaksikan layang-layang putus yang mereka kejar habis-habisan tiba-tiba melesat tinggi digenggamanku. Cara ini sangat ampuh untuk membuat mereka, sebayaku mengakui bahwa aku memang mumpuni.
Perjalanan karir masa kecilku ini bukannya tanpa hambatan, pernah juga aku harus berbagi bogem mentah dengan teman sebaya menyusul gapaian tangan untuk merebut layang-layang putus yang ternyata datang bersamaan. Pernah pula aku harus belepotan lumpur sawah kala memaksa berlari cepat akibat dikejar anjing yang tiba-tiba mangkal ditengah sawah, atau yang terparah harus dikejar sang pemilik sawah yang kalap akibat sawah suburnya penuh dengan jejak kaki misterius, padahal aku tahu, bukan hanya aku yang menyumbangkan jejak misterius itu. Kejadian-kejadian itu tidaklah membuat aku kapok, bahkan aku semakin ngelunjak, semakin bertingkah dan semakin menjadi-jadi. Aku menobatkan diri sebagai pemilik layang-layang rampasan terbanyak sekampung, tak kurang dari seratus layang-layang berbagai ukuran menumpuk digudang, sebagian kupajang di dinding-dinding kamar sebagai motivasi kebanggaan, dan sebagian lagi aku jual ke teman-teman. Khusus untuk layang-layang buatan tangan aku jual lebih mahal karena memang kualitasnya lebih baik ketimbang layang-layang buatan industri, lagipula jumlahnya pun terbatas.
Aku bersyukur sempat menangi zaman ketika menerbangkan layang-layang menjadi hobi primadona bagi anak-anak ingusan hingga bapaknya anak-anak ingusan. Menangi zaman, ketika permainan layang-layang sempat mencapai puncak ketenarannya manakala pihak desa secara resmi membuka turnamen adu layang-layang yang dapat diikuti oleh warga segala usia. Menangi zaman ketika layang-layang putus datang bertebaran silih berganti bersiap menyambut tuan barunya. Kehadiran layang-layang sungguh membuat kisah masa kecilku penuh warna perjuangan untuk senantiasa belajar kerja keras. Lagipula, layang-layanglah yang mengajariku untuk senantiasa bisa tegar dan tenang dalam menghadapi arus angin kehidupan yang menghujam tanpa henti, ketika kita goyah dan tidak kuat menahan arus kehidupan, kehidupan kita akan seperti layang-layang putus yang terombang ambing oleh angin sampai datang suatu keadaan yang memaksa kita untuk ditaklukan oleh kejamnya kehidupan. Itulah mengapa kini aku baru menyadari bahwa layang-layang adalah guru filosofi kehidupan, yang kini dilupakan zaman.
[caption caption="sumber : charisfauzan.wordpress.com"]
Aku terpaku menatap hamparan padang luas yang kini kian gersang. Padang yang dulunya ramai oleh tawa-tawa riang sang tuan kertas langit kini hanya onggokan tanah kering yang tak berarti apa-apa. Diatas padang tandus, Layang-layang putus tersenyum kecut menyambutku, rona kesedihan wajahnya seakan menyiratkan bahwa dia akan berpamitan untuk selamanya. Meninggalkan segala cerita indah yang sempat kita alami bersama. Entah kapan lagi dia akan datang kembali menyambangi sisa-sisa peradabannya yang kini tengah mengering tandus. Layang-layang, Aku merindukanmu……
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H