[caption id="attachment_228073" align="aligncenter" width="600" caption="liputannya di koran"][/caption]
Agar pembahasan dapat lebih mudah untuk dapat dimengerti, saya akan mengajak terlebih dahulu untuk melihat sejenak situasi dan kondisi perkembangan global akhir-akhir ini.
Ada dua hal yang menonjol yang patut kita telaah terlebih dahulu yaitu,
yang pertama adalah mengenai pernyataan para kandidat Presiden Amerika baru-baru ini dalam kampanye mereka, khusus nya pada konteks hubungan AS dengan China.
Menarik untuk diikuti bagaimana sikap AS terhadap China yang muncul dalam debat capres tersebut. Kandidat incumbent Presiden Barack Obama menyebut China sebagai 'musuh' tapi juga mitra yang potensial. Sedangkan Romney menyatakan, AS bisa bekerja sama dengan China jika negara tersebut bisa bertanggung jawab. Terlihat sekali sikap mendua yang diperlihatkan Amerika Serikat dalam menghadapi China.
Dalam hal ini, memang lazim pada kampanye Presiden Amerika Serikat, para calon Presiden mengumumkan dengan gamblang siapa-siapa yang merupakan sekutu Amerika dan siapa pula yang ditetapkan sebagai musuh Amerika. Dari sinilah kemudian muncul berbagai istilah yang berkembang antara lain tentang : “The enemy of My enemy is My Friend”. Namun khusus dalam konteks ini, yang menjadi menarik adalah tentang posisi China dalam pandangan Amerika Serikat sebagai negara super power. Negara yang mendapat julukan the one and only super power in the world, pemegang status global hegemony, pasca perang dingin. Catatan yang muncul disini adalah bahwa China terlihat sebagai sebuah negara yang tengah bergerak menuju posisi yang cukup kuat untuk menjadi sebuah kekuatan baru yang diperhitungkan oleh Amerika Serikat.
Yang kedua adalah, masih berkait dengan perkembangan China dengan kekuatan ekonominya yang tengah melesat dengan cepat, telah menjadikan kawasan Asia sebagai kawasan yang sangat atraktif. Bersama dengan India, kini kawasan Asia memang telah menjadi ajang pertumbuhan ekonomi yang segera akan mengambil alih Amerika dan Eropa. Abad ini, sesuai dengan banyak prediksi dari para pengamat telah menempatkan Asia sebagai tempat berlabuhnya pergeseran pertumbuhan ekonomi global dari kawasan samudra Atlantik menuju kawasan samudra India dan Pasifik.
Bagi Indonesia, pertumbuhan Asia tersebut memang tidak atau belum ditanggapi dengan serius. Pertumbuhan Asia, terlihat tidak begitu menjadi perhatian bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia. Nah, yang sangat mengejutkan adalah betapa Australia, sebagai sebuah negara yang jauh lebih maju, sebuah negara yang dalam kurun waktu 21 tahun terakhir terus menerus berada dalam kondisi ekonomi yang tumbuh positif, justru melihat perkembangan yang terjadi di Asia sebagai sesuatu yang patut diperhatikan. Perhatian yang sangat serius dari Pemerintah dan rakyat Australia tertuang dalam “Australia in the Asian Century White Paper” yang baru-baru ini dirilis administrasi pemerintahan Julia Gillard.
Dalam white paper itu disebutkan antara lain sebagai berikut :
Asia’s rise is changing the world. This is a defining feature of the 21st century – the Asian Century. These developments have profound implications for people everywhere. Asia’s extraordinary ascent has already changed the Australian economy, society and strategic environment. The scale and pace of the change still to come mean Australia is entering a truly transformative period in our history.
Within only a few years, Asia will not only be the world’s largest producer of goods and services, it will also be the world’s largest consumer of them. It is already the most populous region in the world. In the future, it will also be home to the majority of the world’s middle class.
The Asian Century is an Australian opportunity !
I want our nation to be a winner as our region changes and I want every Australian to be a winner too !
I ask all of You to play your part in shaping our future !
The Future of Australia.
Itulah gambaran dari bagaimana seriusnya Australia, melihat perkembangan di Asia dan juga betapa sungguh-sungguhnya pemerintah Australia dalam menyusun perencanaan dalam menata masa depan negara, bangsa dan rakyatnya. Itu semua adalah sekilas tentang tinjauan perkembangan global yang paling mutakhir yang patut kita jadikan salah satu pertimbangan dalam menata ulang, rencana perjalanan kita kedepan. Menyusun perencanaan dengan prediksi ke masa depan pasti mengandung dan berhadapan dengan banyak sekali risiko. Namun risiko yang paling fatal dan sangat buruk adalah bila kita gagal membuat rencana bagi masa depan yang akan menjadi nasib hidup kita sebagai bangsa. Hanya ada tersedia dua pilihan , apakah kita ingin mengalir saja hanyut dengan perkembangan yang terjadi dilingkungan kita, yang kemudian membuat kita menjadi bangsa kuli, atau kita membangun dan aktif menyusun dengan matang perencanaan masa depan agar kita mampu tampil “exist” dalam menentukan posisi, diperhitungkan dan dapat menjadi tuan di rumah sendiri.
Untuk itu, marilah kita cermati realita dan hakekat ancaman yang akan dihadapi. Invasi besar-besaran ke Indonesia, kiranya tidaklah akan terjadi dalam kurun waktu dekat kedepan ini. Disamping eskalasi ketegangan yang ada dalam konteks hubungan antar negara dengan Indonesia, tidak ada satupun yang menuju kearah tersebut. Dengan bentuk dan lokasi strategis Indonesia, ditambah pula dengan kondisi ekonomi dunia saat ini, invasi besar yang memerlukan demikian banyak kekuatan militer, dipastikan hanya beberapa negara saja di permukaan bumi ini yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Pertumbuhan ekonomi India dan China dipastikan akan juga membuat kedua negara tersebut sebagai negara yang secara militer akan tumbuh berkembang. Disisi lain, sebagai kekuatan ekonomi yang terus tumbuh dengan pesat, maka alur dukungan logistik dan perdagangan niaga yang terutama berkait dengan energy dalam hal ini minyak, gas dan batubara dipastikan akan meningkat pula dalam jalur pelayaran dari Timur Tengah dan beberapa tempat lainnya menuju ke China. Dalam hal ini, maka kepadatan lalulintas perdagangan akan terus memenuhi lautan dikawasan samudra India dan Pasifik. Sebagaimana biasanya, dimana perkembangan pelayaran yang tumbuh dengan pesat, maka aspek ancaman keamanan akan serta merta mengiringi pertumbuhan tersebut. Ditambah lagi dengan beberapa sengketa perbatasan laut diperairan laut China Selatan antar banyak negara di kawasan tersebut akan meningkatkan pula kemungkinan ketegangan yang akan terjadi. Demikian pula halnya dengan kandungan kekayaan laut yang terdapat di sekitar laut China selatan.
Kesemua hal tersebut, telah membuat banyak pihak kemudian mempertimbangkan tentang aspek security dan juga tentu saja mengenai perimbangan kekuatan. Hal seperti itu, terlihat jelas pada beberapa perkembangan yang terjadi dilapangan belakangan ini. Sekedar contoh yang sangat mudah terlihat adalah penempatan pasukan Marinir Amerika Serikat di Darwin misalnya. Walaupun dikatakan bahwa relokasi tersebut tidak berhubungan dengan kalkulasi perimbangan kekuatan militer dikawasan, dengan menyebutkan bahwa hanya diperuntukkan bagi tanggap darurat bencana alam, namun tetap saja pergeseran pasukan telah mejadi topik bahasan khusus dan telaahan strategis bagi negara-negara disekitarnya.
Lebih lanjut, mari kita lihat beberapa perkembangan berikutnya, yaitu tentang bagaimana kemudahan yang diperoleh pemerintah Indonesia dalam proses pengadaan persenjataannya, belakangan ini. Belum hilang dari ingatan kita tentang betapa sulitnya Indonesia dalam memperoleh suku cadang pesawat tempur dari Amerika beberapa waktu yang lalu. Tetapi kini, pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan dengan cepat hibah sejumlah pesawat F-16 Fighting Falcon, bahkan dalam angka yang tidak kurang dari 24 buah pesawat. Belum seluruhnya selesai dalam proses pengadaannya, Menlu Amerika Hilary Clinton dalam penjelasannya kepada Menlu Indonesia Marty Natalegawa di Washington DC baru-baru ini memberitahukan bahwa Pemerintah AS telah menyetujui untuk menjual delapan helikopter militer Apache AH-64/D kepada Indonesia. Untuk diketahui, helikopter jenis ini adalah merupakan salah satu jenis persenjataan udara yang tidak mudah untuk mendapatkan ijin dijual kepada Negara yang bukan sekutu atau mitra dekat Amerika Serikat. Sementara di Indonesia sendiri belum ada sama sekali kabar yang berembus tentang niat Tentara Nasional Indonesia membeli pesawat Helikopter sejenis Apache tersebut.