Kasus Sambudi, seorang guru yang menjalani proses hukum akibat mencubit siswa, memberikan gambaran nyata tentang minimnya perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas mendidik. Guru, sebagai pilar pendidikan dan pembentuk karakter bangsa, sering kali terjebak dalam situasi sulit saat harus mendisiplinkan siswa, karena peran mereka mudah disalahartikan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Â
Guru dalam Proses Pendidikan: Antara Tegas dan Risiko Hukum
Dalam konteks pendidikan, disiplin adalah bagian penting dari pembentukan karakter. Disiplin bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi juga tentang membentuk moralitas, tanggung jawab, dan etika siswa. Guru kerap dihadapkan pada siswa yang melanggar aturan sekolah, seperti berbicara kasar, mencontek, atau membolos, sehingga memerlukan tindakan pendisiplinan. Â
Dalam kasus Sambudi, mencubit dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap siswa yang melanggar aturan. Namun, tindakan ini dianggap sebagai kekerasan fisik dan berujung pada proses hukum. Situasi seperti ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara guru, siswa, dan orang tua mengenai cara mendisiplinkan siswa. Â
Minimnya Perlindungan Hukum bagi Guru Â
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, yang kemudian direvisi melalui UU No. 35 Tahun 2014) sering kali dijadikan dasar untuk menuntut guru yang dianggap melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa. Undang-undang ini memang melindungi hak anak, termasuk dari kekerasan fisik maupun psikis. Namun, sayangnya, hukum ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai tindakan pendisiplinan yang bersifat mendidik. Â
Akibatnya, guru sering berada dalam posisi rentan terhadap kriminalisasi, bahkan ketika mereka bertindak untuk mendidik siswa dengan niat baik dan dalam kapasitas profesionalnya. Dalam beberapa kasus, guru dilaporkan ke polisi hanya karena memberi hukuman ringan seperti berdiri di depan kelas atau membersihkan ruangan, yang dianggap oleh sebagian orang tua sebagai pelanggaran hak anak. Â
Dampak Negatif terhadap Guru dan Pendidikan
Minimnya perlindungan hukum ini berdampak pada beberapa aspek: Â
1. Kehilangan Kepercayaan Diri Guru Â
Guru menjadi enggan untuk memberikan tindakan disiplin kepada siswa, karena takut menghadapi tuntutan hukum. Hal ini melemahkan otoritas guru di mata siswa dan mengurangi efektivitas proses pembelajaran. Â
2. Menurunnya Kualitas Pendidikan
Jika guru tidak dapat mendisiplinkan siswa dengan tegas, proses pendidikan bisa terganggu. Siswa mungkin merasa tidak ada konsekuensi atas tindakan mereka, yang dapat mengurangi rasa tanggung jawab dan kedisiplinan mereka. Â
3. Hubungan yang Renggang dengan Orang Tua
Krisis kepercayaan antara guru dan orang tua sering kali muncul, terutama ketika orang tua cenderung memihak anak tanpa memahami konteks tindakan guru. Â
Batas Antara Disiplin dan Kekerasan Â
Perbedaan antara tindakan disiplin dan kekerasan harus didefinisikan secara jelas. Disiplin adalah tindakan yang dilakukan untuk mendidik siswa agar memahami konsekuensi dari perbuatannya, seperti memberikan teguran, hukuman ringan yang tidak menyakitkan, atau tugas tambahan yang bersifat edukatif. Sebaliknya, kekerasan adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit fisik atau trauma psikologis tanpa alasan yang jelas atau relevan dengan proses pendidikan. Â
Tindakan seperti mencubit, menampar, atau mencaci-maki siswa dapat menjadi kekerasan jika dilakukan dengan emosi yang tidak terkendali dan tanpa tujuan edukasi. Namun, jika tindakan tersebut dilakukan secara proporsional, terukur, dan dengan niat mendidik, maka tidak seharusnya dianggap sebagai kekerasan. Â
Rekomendasi untuk Melindungi GuruÂ
Beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk memperkuat perlindungan hukum bagi guru meliputi: Â
1. Penyusunan Regulasi yang Spesifik
Peraturan khusus yang mengatur tindakan pendisiplinan oleh guru perlu dibuat. Regulasi ini harus memberikan batasan jelas antara tindakan yang diperbolehkan dalam mendisiplinkan siswa dan tindakan yang dianggap sebagai kekerasan. Â
2. Pengawasan dan Mediasi di Sekolah
Setiap sekolah perlu memiliki mekanisme pengawasan dan mediasi yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Ketika terjadi konflik, masalah harus diselesaikan di tingkat sekolah terlebih dahulu sebelum melibatkan aparat hukum. Â
3. Pelatihan Penerapan Disiplin Positif Â
Guru harus dibekali dengan pelatihan mengenai metode disiplin positif, seperti memberikan konsekuensi logis, membangun dialog dengan siswa, atau menggunakan pendekatan berbasis penghargaan (reward-based). Â
4. Sosialisasi kepada Orang Tua dan Masyarakat
Orang tua perlu memahami pentingnya peran guru dalam mendidik dan mendisiplinkan siswa. Sosialisasi mengenai batas-batas hak dan kewajiban guru, siswa, dan orang tua harus dilakukan secara teratur untuk mencegah kesalahpahaman. Â
5. Perlindungan Hukum Secara LangsungÂ
Pemerintah harus memastikan adanya perlindungan hukum bagi guru yang bertindak sesuai dengan prosedur pendidikan. Ketika kasus seperti ini muncul, guru harus didampingi oleh pengacara atau lembaga hukum yang memahami peran guru dalam konteks pendidikan. Â
KesimpulanÂ
Kasus yang dialami oleh Sambudi menunjukkan perlunya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan perlindungan terhadap guru. Guru harus diberikan ruang untuk mendisiplinkan siswa dengan cara yang mendidik tanpa khawatir menghadapi kriminalisasi.Â
Dengan kerangka hukum yang jelas, pelatihan disiplin positif, dan komunikasi yang baik antara guru, siswa, dan orang tua, sistem pendidikan Indonesia dapat berjalan lebih efektif, dengan tetap menjaga hak dan kewajiban semua pihak. Perlindungan terhadap guru bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal masa depan pendidikan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H