Mohon tunggu...
Tiktiek Wartika
Tiktiek Wartika Mohon Tunggu... -

Saya lahir dan dibesarkan di Bandung, sekolah dari TK hingga jadi sarjanapun di Bandung. Bandung...I love you full

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Dasar Kedamaian

10 Desember 2010   10:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kumohon, datang ke tempat dulu kita biasa bertemu ya! Aku tunggu pukul empat sore”. Kulihat siapa gerangan yang mengirim sms aneh seperti itu, nomor yang tidak aku kenal, “Huh, salah alamat” gerutuku. Aku kembali merapikan meja kerjaku ketika HP ku kembali berbunyi dan nomornya masih sama dengan yang tadi. “Sialan, pasti salah lagi” kataku dalam hati. Tapi ketika kulihat pesannya, lututku mendadak gemetar, kusandarkan diri ke rak buku di dekatku lalu aku merayap meraih kursi dan segera menjatuhkan diriku disana. Kubaca sekali lagi pesannya yang kedua untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. “Aku Yudha”, begitu isi pesannya. “Yudha”, hatiku berkecamuk, kulirik jam tanganku, pukul lima belas dua puluh tiga. Artinya tiga puluh tujuh menit lagi kalau aku akan memenuhi permintaanya, dan itu tidak mungkin karena jalanan jam segini sangat padat, butuh kira-kira lima puluh menit untuk sampai ke sana.

Bergegas aku ke mobilku, aku tancap gas menuju ke daerah Bandung Utara, Taman Ir. H. Djuanda. Aku beli tiket tanpa turun dari mobilku dan aku memasuki daerah wisata ini dengan mobilku, karena di hari Selasa seperti ini, tempat ini tidak begitu ramai malah nyaris tanpa pengunjung, sehingga kendaraan bisa dibawa sampai ke depan Gua Belanda, tempat yang sekarang sedang aku tuju. Di belokan terakhir kuhentikan mobilku, aku baru tersadar, apakah yang kulakukan ini sudah benar? Aku pelankan mobilku, kupinggirkan, lantas turundan melihat ke arah kanan. Kira-kira seratus meter disana kulihat sesosok tubuh tegap sedang berdiri dengan gelisah, sebentar sebentar dia melihat jam tangannya. Kulirik juga jam tanganku, pukul empat dua puluh. Aku kini ragu untuk menemuinya. Masih terbayang dengan jelas kejadian empat tahun lalu, di sini, Yudha mengajakku kesini untuk yang terakhir kali, saat itu Yudha memutuskan pertunangan kami karena dia lebih memilih untuk menikah dengan gadis lain, teman di masa kecilnya. Dadaku bergemuruh mengingat kejadian itu, aku bersandar ke mobilku dan kejadian itu seperti diputar ulang di benakku. Saat itu aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bicara. Yudha bercerita tentang seorang gadis tetangga sebelah rumahnya, gadis yang katanya sangat anggun, cantik dan pendiam. Gadis itudipesantrenkan di Jawa Timur selama enam tahun, sesudah itu dia dikuliahkan di Al-Ajhar Kairo. Gadis itu ,Nurjannah, baru kembali dari Kairo dan Yudha, tunanganku itu memilih untuk memutuskan pertunangannya denganku untuk kembali ke cinta dimasa kecilnya, “Aku tak bisa melupakannya Murni”. Katanya. “Aku akan menikah dengannya bulan depan” katanya lagi. Saat itu aku hanya diam membisu, aku hanya bisa menangis. Butuh waktu tiga tahun untuk melupakan Yudha sebelum akhirnya aku juga menikah satu tahun yang lalu dengan Rio, teman kuliahku.

Apakah aku mencintai Rio atau tidak, aku tidak tau, yang pasti perkawinan kami baik baik saja, kami belum dikaruniai anak, tapi sepertinya Rio mencintaiku, dia penuh perhatian dan sayang padaku. Masa pacaran kami bisa dibilang sangat singkat, disaat jiwaku masih belum stabil sejak ditinggalkan Yudha, tiga tahun sejak Yudha memutuskan untuk menikah dengan gadis itu, Rio bertandang ke rumahku dan dengan penuh perhatian mendengarkan semua ceritaku. Entah karena kasihan atau karena memang dia mencintaiku, Rio mengajakku untuk menikah, dan kami menikah satu bulan sesudah dia datang ke rumahku untuk yang pertama kali.

Kurasakan ada yang mengalir hangat dari mataku, Ah, aku menangis lagi, tiba-tiba sosok tegap Yudha sudah berdiri tepat di depanku. Cepat-cepat kuhapus air mataku. “Kenapa parkir disini?” katanya. Aku tidak menjawab pertanyaanya karena aku tidak tau harus menjawab apa. Aku menurut saja ketika dia menyuruhku untuk masuk ke mobilku lalu dia menyetir mobilku menuju ke goa Belanda dan memarkirkannya bersebelahan dengan mobilnya. Yang membuat aku terhenyak adalah, mobil kami persis sama, Atoz hitam. Dulu ketika masih bertunangan, mobil impian kami adalah mobil Atoz dan warnanya hitam. Kini ada dua Atoz hitam yang diparkir berdampingan. Yudha tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku tidak membalas jabatan tangannya, dia menarik nafas dalam-dalam sambil menarik kembali tangannya. “Kamu masih tidak bisa memaafkan aku?” tanyanya. Tidak kujawab, aku turun dari mobilku dan berjalan menuju pinggir jurang, tepat di depan Goa Belanda. Dulu aku biasa berdiri atau duduk disini berlama-lama sambil melongok ke bawah sana. Di dasar jurang sana ternyata keadaannya masih sama seperti empat tahun yang lalu, ada sungai berair jernih yang mengalir membelah batu batu yang terlihat sangat indah dan damai jika kelihatan dari atas sini.

Ah banyak sekali kenangan disini, aku dan Yudha mengawali dan mengakhiri hubungan kami di sini. 7 tahun yang lalu, itu artinya 3 tahun sebelum Yudha memutuskanku, kami juga bertemu disini untuk yang pertama kali. Ketika itu aku sedang berwisata dengan teman-teman kampusku, begitupun dengan Yudha, dia datang dengan sahabat-sahabatnya. Ketika aku dan teman temanku sedang berfoto ria dan kebetulan kami sedang mencari sukarelawan untuk memotret kami bersama, ada rombongan pemuda (empat orang pemuda) yang lewat, nah orang yang dimintai tolong itu adalah Yudha. Kelihatannya dia juga senang dimintai tolong oleh kami, sehingga aku dan teman-temanku sedikit memanfaatkan kesempatan itu, kami puas-puaskan berfoto bersama di sekitar goa Belanda karena ada photographer ganteng yang rela memotret kami dengan gratis. Setelah puas berfoto, aku mengucapkan terima kasih pada pemuda itu, dia ulurkan tangannya sambil tersenyum, “Yudha”, katanya, “Aku Murni” kataku sambil mengulurkan tanganku. Yudha menggenggam erat tanganku sambil berkata, “Boleh dong kalau kita difoto berdua”, katanya dengan mimik lucu, “Oh, boleh”, kataku “Disana tuh, dengan bunga terompet itu” katanya lagi sambil menarik tanganku, aku menurut saja, dan mengikutinya, lantas kami berdua berpose beberapa kali, yang menjadi photographernya Erwin, temannya Yudha. Selesai berfoto Yudha menatapku sambil berkata, “Murni, nanti kalau fotonya sudah dicetak, aku kirimkan kemana nih?” Ada perasaan aneh dalam hatiku ketika Yudha menatapku, “Aku kuliah di UNPAR Ciumbuleuit” kataku “Oke, aku ke kampusmu lusa jam 2 ya!” katanya lagi. Aku hanya mengangguk pada waktu itu.

Pada hari yang dia janjikan itu, aku menunggu di gerbang kampusku, dan Yudha datang tepat pukul 2 sambil membawa foto-foto kami berdua. Kulihat foto-foto itu, “Wah ternyata hasilnya bagus-bagus” kataku, “Tentu saja, yang difotonya juga bagus sih” jawabnya sambil tersenyum menatapku. Sejak itu kami, aku dan Yudha sering jalan bersama dan tempat favorit kami adalah Goa Pakar, tempat dimana kami pertama kali bertemu. Ternyata kami cocok satu sama lain kalau berbincang, kami juga punya hobi yang sama, hiking. Kami sama-sama tidak suka jalan jalan ke mall, kami lebih suka jalan-jalan ke gunung atau menyusuri sungai dan hutan.

Satu bulan sesudah awal pertemuan kami, aku dan Yudha resmi ‘jadian’. Saat itu, disini, di depan Goa Belanda ini, Yudha memegang kedua tanganku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang bunga terompet, sambil berlutut dia berkata, “Murni, kamu mau ya jadi kekasihku?” Aku masih merasakan degup jantungku, pada saat itu aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Dasar Yudha, melihatku mengangguk dia mencium tanganku lantas berteriak-teriak kegirangan, “Aku diterima!” “Aku jadi pacarnya Murni!” teriaknya. Semua orang menoleh pada kami mendengar teriakannya, malu sekali, mukaku memerah dan “Ssssst!” kataku.Tapi dia tidak memperdulikanku, dia melepaskan tanganku lalu melompat-lompat sambil berteriak-teriak sendiri. Puas berteriak-teriak dia kembali memegang tanganku dan berkata, “Murni, aku, Yudha Dewangga, hari ini berjanji untuk terus menjagamu dan menemanimu sampai mati!” katanya. “Hus”, kataku “Jangan bersumpah seperti itu ah” “Aku serius, aku akan temani kamu sampai mati” katanya lagi.

“Ehem ehem!”, tiba-tiba ada deheman yang membuyarkan lamunanku, “Malah melamun” kata Yudha, dia masih belum berani mendekatiku melihat sikapku yang tidak bersahabat. “Terima kasih kamu sudah datang, aku takut kalau-kalau kamu tidak memenuhi permohonanku”. Katanya. Aku tatap dia, aku belum bisa berkata-kata, aku tidak ingin berkata-kata, aku hanya ingin segera mendengar untuk apa dia memintaku ke sini dan segera pulang. Sudah semakin remang disini, dan sebentar lagi Rio pasti akan meneleponku karena aku belum sampai rumah.

“Aku hanya ingin memberitahukan kamu, besok aku akan berangkat ke Prancis, aku, Nurjannah dan anak anakku akan berada disana entah sampai kapan, kami belum memutuskan berapa lama kami disana, tapi sepertinya itu akan lama, mungkin lebih dari 15 tahun” katanya. “Apa hubungannya denganku?” Tanyaku ketus. “Untuk apa kamu memberitahukan aku, aku bukan siapa-siapamu!” kataku lagi. “Entahlah” katanya lagi, “Aku ingin sekali mendengar ucapan maafmu, untukku!” katanya lirih, “Aku takut, kalau-kalau kita tidak bisa bertemu lagi”. “Untuk apa kita bertemu lagi?” “Kamu sudah bahagia dengan keluargamu, dan aku juga begitu”. Kataku. “Kamu menangis?” tanyanya cemas. Dia berjalan mendekatiku sambil mengulurkan sapu tangan, aku melangkah mundur, aku tidak ingin dia menyentuhku, tidak akan kubiarkan itu terjadi, meskipun dalam hatiku aku masih sangat mencintainya. Tiba-tiba dia berteriak memanggil namaku dengan mata yang terlihat sangat ketakutan, “Murniii…!! Jangaaaaan…!!”.

Terlambat, aku sudah terperosok, aku ketakutan sekali, aku merasakan badanku melayang, tiba-tiba, tangan kekar itu sudah memelukku, dia memelukku erat sekali, dia tatap mataku, tatapan itu adalah tatapan yang sangat aku rindukan selama ini. “Jangan takut” katanya. “Aku akan menjagamu!” katanya lagi. Aku mengangguk, aku rebahkan kepalaku di dadanya yang bidang, nyaman sekali berada dipelukan Yudha. Suara berdebum yang cukup keras ketika tubuh kami terhempas ke atas batu-batu di dasar jurang ini tentunya tidak ada yang mendengar, selain di atas sana tidak ada orang lain jurang ini juga sangat dalam. Hempasan yang sangat dahsyat itu sudah membuat pelukan Yudha terlepas. Kurasakan sakit tak terperikan di sekujur tubuhku, tapi aku masih tersadar. Aku tak bisa bergerak, tapi aku masih bisa melihat, kulihat Yudha, dia terkapar, kira kira satu setengah meter di sebelah kananku. Ternyata dia juga masih tersadar, tubuh tegap itu mencoba beringsut mendekatiku, tangannya mencoba menggapai tanganku, aku mencoba untuk menggerakkan tanganku, berusaha untuk menggapai tangannya. Akhirnya tangannya berhasil menggapai tanganku, tangan kami bersentuhan, kurasakan hangat mengaliri sekujur tubuhku, sakit tak terperikan yang tadi kurasakan hilang lenyap, kunikmati hangat ini, hangat yang sangat aku rindukan. Kulihat darah di kepala dan sekujur tubuhnya, juga di kepala dan sekujur tubuhku. Diantara warna merah itu kulihat kilatan bening bola matanya. Kami bertatapan lama sekali. Tanpa suara. Tapi mata kami banyak bercerita. Satu diantara banyak yang aku sampaikan pada saat itu tentu saja adalah “Maafku Untuknya”.

Dulu, ketika aku dan Yudha sedang duduk-duduk atau berdiri di pinggir jurang ini, seringkali aku mengatakan keinginanku untuk turun ke dasar jurang ini, ingin sekali aku bermain dan memainkan kakiku di sungai jernih ini. Beberapa kali kami mencoba untuk turun, tetapi kami belum pernah berhasil, karena memang jurang ini sepertinya belum pernah dituruni karena sangat terjal dan dalam. Aku tersenyum, akhirnya aku bisa juga mencapai dasar jurang ini bersama Yudha, ternyata benar, disini indah sekali, air yang mengalir disungai ini sangat jernih. Yudha juga tersenyum, pastinya dia juga tau apa yang sedang kupikirkan. Ketika gelap menjelang dan kami tak lagi dapat bertatapan, kami masih banyak bertukar cerita lewat jari-jari tangan kami yang masih bersentuhan. Hingga saat itu tiba, jari-jari dari tangan kekar itu mendingin dan tidak lagi mendengarkan ceritaku. Akupun menyusulnya tak lama kemudian.

Jasad kami, baru ditemukan besok paginya, setelah petugas melihat Atoz hitam kami yang diparkir berdampingan. Kulihat Nurjannah dan kedua anaknya meraung-raung meratapi jasad Yudha, kulihat juga Rio menitikkan air matanya. Kucoba untuk menenangkan Rio, untuk memberi penjelasan kepadanya, tapi sepertinya dia tidak merasakan kehadiranku dan mendengar suaraku.

Yudha memegang erat tanganku,menyelipkan bunga terompet di telingaku, menatap mataku sambil berkata, “Sudahlah Murni, tidak akan ada yang melihat ataupun mendengar kita”. “Ayolah, ikut aku!”. Aku mengikuti sosok kekar itu menuruni jurang di depan Goa Belanda, dimana kami akan menghabiskan waktu kami berdua, di tempat yang penuh keindahan dan kedamaian, entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun