Suatu hari ketika raga berpisah dengan nyawa, di saat gelap gulita. Angin sepoi datang tanpa makna. Alam hanya melirih dingin, menandakan puing yang perlahan akan berpaling. Degup telah tiada pada jiwa yang teramat dicinta. Kepergiannya terasa sirna penuh gulita tanpa tawa apalagi ceria. Sebuah bayangan selalu dinanti dalam sebuah hati tanpa tapi.Â
Pada hari 7 sampai dengan 40 bayang-bayang seperti terang. Suasana bergelambir, masih ramai. Riuh-riuh terdengar penuh peluh seperti tak pernah kehilangan. Rasa kehilangan memang tak selamanya berpenghuni. Suka duka juga datang silih berganti. Nyatanya ketika sebuah jiwa tlah kembali. Hari-hari tanpa pasti itu hanya sebagian, tak pernah akan penuh menyimpulkan.Â
Tepat 100 hari saja, yang kehilangan mulai kalang kabut dengan kesibukan. Selebihnya hari-hari adalah penantian untuk masing-masing kembali dalam pangkuan. Sebuah amalan jadi pertaruhan.
Setelah itu, bayang-bayangmu tak pernah lagi datang. Kehilangan sudah berganti kebahagiaan. Tangisan sudah luruh berganti tawa melepaskan duka. Ingatan tentang kehilanganmu tak lagi menjadi duka. Saat beberapa orang menyebut namamu, maka sebagian cukup mengulas senyum tipis lagi manis saat beberapa memamerkan rasa sinis.Â
Hidup memang tak seindah itu. Selalu ada duka dan tawa pada setiap rasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H