Mohon tunggu...
Holy Handayani Syarief
Holy Handayani Syarief Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pasca Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bertahan atau Pergi Meningalkan!! Sebuah Dilema Korban KDRT

25 Juli 2024   11:26 Diperbarui: 25 Juli 2024   12:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan  fenomena sosial yang menjadi pembahasan  tak berkesudahan,  beberapa waktu lalu kita disuguhkan sebuah kasus KDRT yang dialami  selebriti tanah air, penyanyi dangdut kenamaan dengan jumlah subcriber t****k-nya mencapai 4.7 juta. Banyak penggemar yang mengeluk-elukan kesempurnaan hidup mereka di dunia nyata ataupun media sosial, mempunyai pasangan tampan,  mapan secara financial ternyata tak mampu menghalangi  terjadinya tindakan kekerasan  dalam rumah tangga. 

ironis memang, di satu sisi banyak pihak yang bergerak untuk ikut mensosialisasikan dan menegakkan perlindungan terhadap perempuan. Seperti halnya, pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan dan Anak serta Banyak LSM atau Women Crisis Centre (WCC) yang memberi edukasi terhadap para korban KDRT, tetapi di sisi lain jumlah korban KDRT yang mengalami luka fisik, psikis, bahkan tak sedikit yang berujung pada kematian selalu bertambah. 

Kita lihat saja, baru-baru ini kasus pembunuhan istri yang sedang hamil 8 bulan di Kota Solok, Sumatera Barat. Kemudian, seorang pegawai salah satu BUMN pun melakukan tindak kekerasan pada pasangannya yang sedang mengandung 2 bulan. Hasil penyidikan mengungkapkan bahwa adanya perasaan cemburu buta yang berujung pada pembunuhan. Sebenarnya tindak KDRT  tidak hanya terjadi pada RNA (istri ke dua), pada pernikahan sebelumnya pun pegawai BUMN (AWW) juga terbiasa bersikap kasar. Kondisi ini membuat penyidik menggandeng ahli psikologi guna pemeriksaan kejiwaan pelaku.

Dari beberapa kasus diatas menjadi pelajaran bagi kita bahwa untuk membina rumah tangga yang diikat dalam sebuah sakralnya pernikahan, masing-masing pribadi haruslah mampu "mematangkan diri" tidak hanya fisik dan ekonomi saja, tetapi juga psikis (kejiwaan), karena pernikahan bukan permainan, bukan ajang hebat-hebatan, tetapi pernikahan merupakan wadah penyatuan visi dan misi kelanjutan hidup di masa depan. Meninggalkan / bercerai dari pasangan yang sering melakukan tindak kekerasan belumlah memberikan efek jera pada pelaku karena pada pernikahan selanjutnya pun kekerasan masih bisa berulang. belum lagi dampak psikis dan sosial, tidak hanya pada wanita yang berstatus janda tetapi anak juga tak kalah menderita mentalnya.  

So, sebelum menikah pastikan memilih pasangan di dasarkan pertimbangan yang sangat matang, istikharah bagi yang muslim dan yang tak kalah penting adalah restu orang tua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun