Penyair-penyair perempuan dalam Festival Penyair Internasional Indonesia 1-12 April 2012
Magelang, yang tak pernah bisa melarikan diri dari kemegahan Candi Borobudur menjadi kota pertama tempat 17 penyair dari 10 negara dan Indonesia memindai wajah masing-masing untuk pertama kalinya. Saya sebagai penyair perempuan Indonesia yang ikut berkeliling di empat kota, hanya bisa senyum-senyum saja diantara tiga penyair laki-laki Indonesia pilihan. Saat itu, saya bahkan tidak tahu kalau festival yang sama digelar oleh almarhum Rendra 10 tahun yang lalu.Duddy Anggawi sebagai koordinator Forum penyair Internasional Indonesia sendiri tidak pernah banyak bicara di depan publik, hanya telpon genggamnya tak pernah berhenti sampai mencegahnya sarapan untuk memastikan bahwa semuanya berjalan lancar.
Pada acara konferensi pers, saat penyair perempuan Dorothea Rosa Herliani, sebagai ketua panitia Magelang memperkenalkan para penyair yang baru saja menghirup udara gerimis di Magelang. Saya duduk bersebelahan dengan Hagar Peeter dari Belanda dan sejak itu hampir tiap hari kami berpelukan, karena saya meyakinkannya dengan bercanda bahwa setiap manusia akan sehat jika berpelukan setidaknya dua puluh kali sehari. Hagar yang selalu cantik dalam lamunannya mengiangkan puisi berjudul exile
...We are alone, as self-contained as one half that has never known the other...
Kamar di sebelah saya di Pondok Tingal tempat kami menginap, mengeluarkan seruan dari dalam hati mungkin milik banyak perempuan yang teralienasi, milik Mbali Bloom, penyair yang melintangkan suaranya di Afrika selatan dan memenangkan diantaranya The national Grahamtown festival. Ia membaca dan menyanyikan puisinya dibawah payung berwarna pelangi, saat panggung di kaki Borobudur terguyur gerimis
I was told chase your dreams and they will be fullfiled
They lied
I was told the world is your oyster then i am the crushed pearl inside precious and broken
Kami saling membaca dan ketika kami sampai ke kota Malang, ia membaca puisi saya di panggung
Apakah saat bisa ditepatkan
Karena tiga puluh detik terasa begitu lamban
Tukang jam yang lupa waktu bertanya
Berapa umur hatimu?
Sarah Holland Bhatt, penyair dari Australia yang sementara ini menetap di New York, tak bergeming membaca puisinya meskipun didera flu selama perjalanan empat kota. Sarah seperti selalu enggan merepotkan dan penuh terimakasih saat saya menerjemahkan pesan-pesannya pada panitia. membaca puisinya This landscape before me dengan rambut yang tergerai, sepatu hak tinggi dan rok batik yang dibelinya di New York,
Is unwritten, though it has lived in violence
Kota magelang kami tinggalkan dengan kenang-kenangan keramahan sayur urap dari komunitas lima gunung. Caravan penyair menuju Pekalongan. Senangnya bertemu penyair perempuan Indonesia lainnya, Ratri Ninditya dengan puisinya Kapsul vitamin E cegah gangguan sinyal bb dan Stephanie Mamonto. Afrizal malna sebagai kurator festival ini menyebut mereka sebagai menawarkan versi puisi Indonesia kontemporer (juga Anis Sayidah, dan Ratna Ayu Budiarti). Saya begitu terhanyut ketika Stephanie seperti menarikan hatinya Perempuan Laut dan Laki-laki Langit di pendapa International Batik Center Pekalongan yang dipenuhi penonton yang khusyuk
Ketika ia bilang buat apa membuang energinya sia-sia, hanya bersandar pada garis horizontal yang datar dan tak punya kejutan, sementara miliknya cukup besar untuk menampung semesta?
Ketika perempuan laut itu menemukan dirinya tersedot semakin dalam pada palungnya sendiri dan bersemayam disana sampai entah kapan.
Diantara pentas kesenian, sarapan, makan pagi, makan siang, diskusi sastra di sekolah, universitas dan jam-jam di bis kami, saya merasakan kekaguman yang lambat laun kepada Gerdur Kristny, penyair perempuan dari Islandia, bukunya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan kumpulan puisinya dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Skandinavia. Saya menyukai ironi-ironi dalam puisinya.
Recall you also
When whetting the knife
Know that the shorthest way
To a man’s heart
Goes straight through
His chest
Perjalanan bis berlanjut dari Pekalongan ke Malang yang ditempuh selama hampir dua belas jam. Saya kemudian sering berpapasan dengan Sujata Bhatt, penyair perempuan asli India yang tinggal di Jerman. Buku puisinya pun terlah dipakai di sekolah-sekolah di Inggris. Sujata selalu bertanya kepada saya, makanan mana yang tidak terlalu manis.Meskipun saya tidak punya kesempatan berdiskusi panjang dengannya, puisi-puisinya adalah favorit saya di festival ini, terutama tentang budaya yang mengutuk perempuan yang sedang menstruasi, peristiwa paling alami dalam tubuh perempuan ini selalu dikaitkan dengan dosa.
Only paper and wood are safe
From menstruating woman’s touch
So they built this room
For us, next to the cowshed
Here, we’re permitted to write
Letters, to read, and it gives a chance
For our kitchen-scarred fingers to heal.
Penyair perempuan istimewa lainnya adalah Ulrike Draesner dari Jerman. Ia datang bersama Lucia, anak angkatnya berumur 3 tahun yang asli Bangladesh. Ulrike dalam diskusi puisi di universitas petra Surabaya, menekankankan bagaimana tubuh berhubungan dengan bahasa, seperti juga dalam puisinya yang menceritakan kisah kegugurannya; you, three months later
The moon, unutterable, in the room, too, little orange stars, the fish swim around us.
12 hari perjalanan penuh dengan kesibukan, karena selain pembacaan puisi kami juga bertemu dengan bupati dan walikota setempat, dan tentu saja sibuk makan-makan masakan tradisional dan foto-foto bersama serta saling menandatangani buku antologi puisi What’s Poetry yang diterbitkan oleh Henk Publica dimana semua puisi dari semua penyair yang ikut serta dalam festival ada di dalamnya. Tak terlupakan juga sambutan penonton di tiap kota. Saya tidak pernah berpikir acara pembacaan puisi bisa begitu diminati begitu banyak orang, dari berbagai kalangan; pengusaha, pemerintahan dan yang paling menggembirakan adalah siswa smp dan sma.
Dari hari ke hari kejutan selalu ada, bis kami menjadi meriah ketika dikawal sirene polisi dari Malang menuju balai kota Surabaya dimanawalikota perempuan yang berprestasi itu menyambut kami dengan makan siang. Surabaya pun menjadi persinggahan ke empat dan diakhiri dengan berperahu bersama di bawah jembatan Suramadu. Festival ini juga menjadi kenangan yangterus tumbuhbuat saya, membaca puisi Kebunibuku di Borobudur, di depan Klenteng di Pekalongan, di UIN Malang dan Gedung kesenian Cak Durasim Surabaya.
apakah kamu lupa?
bunyi angin berbisik kepada bambu di sudut halaman dimana kucingmu dimakamkan dan menunggu di sebelah lain dari hidup
wangi bunga yang patah ketika mereka menyerahkan diri untuk dipermainkan
sentuhan tanah hitam ketika kamu menggalinya untuk menyelamatkan seekor ikan
ciuman hujan yang kau tatap dari jendela dan kamu berpikir suatu hari ia menjadi salju
orkestra katak bernyanyi lagu ‘aku seorang pangeran’
sayap kupu-kupu ungu yang mengirimkan undangan pesta ulang tahun
kesunyian memori masa kanak-kanakmu yang berharap kamu punya museum untuk menyimpan tentara yang cacat, boneka barbie yang buta dan buku tanpa sampul
apakah kamu ingat?
puisi ini ada dalam kumpulan puisi Gracia Asri hampir aku tetapi bukan' terbitan koekoesan media, dapat didapatkan di tb gramedia terdekat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H