John Austin dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1832) menyatakan: "The existence of law is one thing; its merit or demerit is another". Kegagalan dalam memisahkan kekuasaan negara dengan penilaian subjektif, seperti moral, etika, bahkan agama, dapat mengaburkan hukum. Hukum bukan berasal dari baik dan buruk tetapi dari kuasa (sovereign) yang memaksa.Â
Adapun Hans Kelsen yang mencetuskan "The Pure Theory of Law" menyatakan tentang legalitas dan normatif. Sementara suatu normatif mendapat legalitas dari norma lain di atasnya. Ia melihat hukum sebagai "science". Layaknya buah apel yang jatuh ke tanah karena gaya grafitasi bumi. Dalam pemikirannya "norma dasar" dapat diungkapkan sebagai konstitusi. Â Di Indonesia konstitusi diwakili oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tentang hierarki, yang mengarah kepada pengertian dari teori murni Hans Kelsen, yang menganggap hierarki yang mengatur peraturan perundang-undangan dari peraturan tertinggi dan terendah. Rujukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan terhenti pada UUD 1945.Â
Peraturan perundang-undangan, apabila mengikuti pemikiran John Austin dan Hans Kelsen, maka UUD 1945 seharusnya tidak memiliki nilai subjektif. Meskipun UUD 1945 mengatur permasalahan agama, perturannya tetap peraturan yang normatif. Peraturan yang memerlukan pemaksaan dari negara. Berbeda dengan moral, etika dan agama, yang tidak memerlukan pemaksaan dari negara.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendasarkan keputusan Judicial Review (JR) terhadap Undang-Undang (UU) dengan menempatkan UUD 1945 sebagai norma dasar yang harus diikuti. Permasalahan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memperhatikan moral, etika dan agama.Â
Permohonan hanya memiliki status dikabulkan atau tidak dikabulkan oleh hakim MK. Ronald Dworkin mempertanyakan, " is there the truth in interpretation?". Di dalam putusannya, hakim MK membuat interpretasi yang bukan berdasarkan kebenaran kongkret. Ia membuat interpretasi di atas interpretasi kata yang lain yang tidak tergantung satu dengan lainnya.
Penyelesaian permohonan atas JR UU diputus melalui pemikiran 9 (Sembilan) hakim MK dengan pemberian asesoris dissenting opinion, apabila ada. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi UUD 1945 berada di pihak hakim MK.Â
Pancasila dan UUD 1945 tidak terhubung dalam interpretasinya. Pancasila yang seharusnya menyerap seluruh nilai-nilai masyarakat, baik pemikiran tradisi yang dapat memecahkan permasalahan kekinian maupun nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat saat ini. Pancasila memberikan cahaya bagi UUD 1945 melalui interpretasi yang dapat memecahkan permasalahan kongkret. Â
Seharusnya putusan hakim MK dapat mengikuti perubahan nilai dalam masyarakat. Ibarat seseorang  membuat kue melalui cetakan berbeda dengan pembuatan kue yang diidamkan melalui cetakan yang dibuat terlebih dahulu. Selama ini, masyarakat telah terjebak dalam putusan MK dengan interpretasi yang tidak diinginkan. Tanggung jawab norma dasar menjadi tanggung jawab hakim MK.Â
Adapun MK dapat membuat interpretasi UUD 1945 yang bertentangan dengan nilai yang hidup masyarakat karena terpisah satu dengan lainnya. Â Penghubung yang menjadi bagian dari UUD 1945 wajib memiliki konsep ideal dan sesuai dengan nilai masyarakat Indonesia. Padahal Pancasila telah ada dan menjadi bagian dalam mukadimah UUD 1945 dan memiliki kemampuan untuk menyalurkan perubahan nilai masyarakat ke dalam UUD 1945.
Dengan demikian mata rantai antara Pancasila yang mewakili masyarakat Indonesia dan UUD 1945 tidak terputus dan menjadi penyambung nilai dan norma yang diserap dalam masyarakat yang menerangi UUD 1945 dalam bentuk interpretasi yang telah dikaji dengan sangat mendalam.