Bang.. Dibungkus ajah..
Sering mendengar perintah seperti itu terucap dari pembeli jajanan kaki lima, tapi nggak cuma kaki lima aja sih di resto atau tempat makan di dalam gedung juga sering terdengar. Sebetulnya nggak ada yang salah sih dengan perintah itu, setiap orang punya preferensi masing-masing, dan belum lagi kebiasaan yang udah jamak. Eh iya, ini saya lagi ngomongin soal banyak orang kita yang suka membawa pulang makanan yang dibelinya di tempat apalah yang jualan makanan.
Yang mau saya bilang adalah, bahwa membungkus makanan itu akan menghasilkan bungkus makanan yang nggak ada makanannya lagi, sampah maksudnya, dan disini bungkus makanan masih banyak pakai plastik. Sebenernya nggak cuma bungkus makanannya yang pake plastik, kalo kita bawa pulang makanan (mbungkus, kalo bungkus dikira nyebut2 komentator bola yang alih profesi jadi politisi) kadang dikasih lebihan benda yang terbuat dari plastik seperti kantong plastik, sendok plastik, gelas plastik, sama plastik yang buat bungkus sendok plastik, atau wadah plastik tempat naro makanan di boks, dan masih banyak lagi kayaknya bonus dari penjual makanan.
Yang saya heran, dulu bukannya pernah heboh yah bumbu plastik untuk bikin gorengan tambah crispy, kemripik, garing yah, dan kayaknya banyak orang juga takut, karena katanya bisa mengakibatkan penyakit degeneratif seperti kanker dan lainnya. Kalo saya pikir sih, bukannya plastiknya cuma dikit yah, minyak yang dipake kan banyak, dan dibuat goreng gorengan yang banyak pula. Selain itu, konsepnya kan katanya plastik itu meleleh di titik didihnya yah, nah kalo kita mbungkus soto panas juga bukan? jangan2 si plastik mbungkus itu ikut mleleh juga, dalam satu bulan minimal saya makan 4 bungkus soto, setahun 48 bungkus, bahaya juga nggak yah?
Saya sebenarnya milih menghindari mbungkus makanan, lebih suka makan ditempat, selain lebih enak karena banyak ingredients tambahan, banyak yang bisa dilihat juga, dan yang paling utama adalah mengurangi sampah plastik, dan limbah lainnya. Dikampus saya pernah ada kampanye untuk mengurangi limbah plastik, para penggiatnya bilang, kalo satu orang aja bisa mengurangi mbungkus makanan, maka dalam setahun di kampus kami bisa mengurangi sampah plastik berapa meter kubik gitu, saya nggak hapal. Sampah plastik itu katanya paling jahat, susah didaur ulang, nggak bisa dihancurkan bumi sampai bertahun-tahun, dan lain-lainnya. Saya betul2 kagum buat mereka2 yang bisa menggunakan kemasan, sisa, atau apapun yang sebenarnya limbah menjadi suatu karya, karena ternyata, plastik berwarna tidak bisa di daur ulang, atau daur ulangnya sulit, atau apalah saya juga nggak paham, pokoknya nyebelin deh ngolahnya.
Di beberapa negara atau kota lebih tepatnya, penggunaan kantong plastik bahkan sudah dilarang penggunaannya, dan sepertinya Jakarta juga akan ikut langkah itu, tapi satu hal yang harus dilakukan, harus ada sosialisasi, pembudayaan, sampai dengan pemaksaan untuk tidak menggunakan kantong plastik sebelumnya, jangan sampai seperti banyak kebijakan pemerintah yang akhirnya menimbulkan kontroversi, bulky, tapi tidak berisi, minim kajian, dan akhirnya lemah di taraf implementasi, dan paling parahnya ketika di enforce banyak yang menchalenge. Yang paling penting kebijakan tersebut tetap harus minim friksi, apapun yang dipilih kebijakan seharusnya tidak hanya latah mode, atau yang lagi ngetrend, atau biar dibilang dan berpredikat apalah. Kebijakan harus untuk for greater goods manfaat yang lebih besar, di masa kini dan di masa mendatang.
Plastik masih banyak bagusnya kok, contohnya dipake buat operasi kecantikan, ember, gayung, sapu, dan lainnya sepertinya. Sifatnya kan elastis, tahan lama, dan murah, tapi berarti kita perlu juga yah mikirin wadah pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan, atau yah mungkin bisa ikut kebiasaan saya yang seneng makan ditempat penjual. Tapi tetep ada konsekuensinya juga kompasianer, gara2 kebiasaan saya makan di tempat penjual, dah 3 kali saya kena typhus dan semua hasil pemeriksaan dokter bilang karena saya makan di tempat yang tidak higinis, hehehehehehehe. Yah maklum dok, golongan ekonomi yang dikit lagi nyampe menengah, jadi yah makannya nyerempet2 golongan menengah (jalan raya yang banyak mobil maksudnya, biar bisa kecipratan debu mobil, biar besok2 bisa beli mobil).
wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H